Hari Jumat tangal 9 Maret lalu, Forum Diskusi Lafadl menhadirkan Eric Hiariej, M.Phil (dosen Hubungan Internasional UGM) untuk berdiskusi tentang fundamentalisme dan demokarasi. Tema yang juga menjadi topik desertasinya di ANU. Sohib Masykur (Mahasiswa Hubungan Internasional UGM, anggota Tim Kerja Lafadl) menuliskan laporan diskusi tersebut untuk Anda:


Selama ini orang percaya bahwa fundamentalisme agama merupakan musuh paling baru dan paling berbahaya bagi demokrasi. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa fundamentalisme merupakan sebuah bentuk komunalisme. Dalam komunalisme, yang berperan adalah ’emotion’. Sedangkan ‘reason’ disisihkan. Padahal, demokrasi meniscayakan pengedepanan ‘reason’. Juga, fundamentalisme meniadakan dialog. Padahal dalam demokrasi kita mengenal adanya civil society di mana di dalamnya dialog merupakan hal yang paling mendasar dan penting. Namun, lebih dari sekedar ancaman terhadap demokrasi, fundamentalisme agama merupakan produk dari demokrasi itu sendiri. Orang jadi fundamentalis karena demokrasi selama satu dekade terakhir mengalami kemenangan. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Untuk persoalan demokrasi, ada beberapa orang yang selalu menjadi rujukan dan memberikan pengaruh yang amat besar dalam perdebatan tentang demokrasi. Pertama, Ullrich Beck dan Antony Giddens. Dua orang ini mengatakan bahwa demokrasi adalah karakter manusia modern yang merupakan sebuah keniscayaan. Mengapa? Baca entri selengkapnya »

Soto dan Pertumbuhan Ekonomi

Senin, 19 Maret 2007


oleh: uUzair Fauzan (Koordinator Lafadl Initiatives)

Kami tidak sedang berminat membicarakan kemajuan ekonomi dalam pengertian konsep dan rumus yang abstrak. Kami juga sedang tidak tertarik untuk mendiskusikan Soto dalam pengertian kependekan nama dari Hernando de Soto, pakar ekonomi yang baru-baru ini secara khusus diminta oleh SBY untuk memberi petuah-petuah mengatasi kemiskinan. Kami hanya tertarik berbicara penggalan sejarah kawasan Dayu, tempat kami sekarang numpang hidup, dan kegiatan ekonominya. Dan tentu saja kaitannya dengan soto, dalam pengertian nasi sup ala Jawa yang dilengkapi dengan “suwiran” ayam di dalamnya.

Bagi orang-orang yang tinggal atau sering melintas di daerah Dayu, warung soto Pak Jamal bukanlah tempat yang asing. Dari Jalan Kaliurang kilometer delapan setengah, Anda tinggal berbelok ke arah barat masuk ke Jalan Damai. Warung soto milik Pak Jamal ini dengan mudah bisa ditemukan kurang lebih seratus meter dari sana di sebelah utara jalan. Setiap pagi, terutama antara jam delapan hingga setengah sepuluh, deretan sepeda motor dan mobil bisa jadi penanda yang bagus untuk menemukan warung ini. Warung ini memang menjadi rujukan banyak orang untuk memuaskan lapar di pagi hari. Tak terkecuali kami. Baca entri selengkapnya »


Oleh: Shohib Masykur (Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, UGM, salah satu anggota Tim Kerja Lafadl)

Dalam tulisannya yang termuat dalam buku Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, ed.: 2006) dengan judul Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia, Hilman Farid mengatakan bahwa selama ini analisis berbasis kelas tidak mendapatkan tempat dalam diskursus ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Dia menyebut tiga alasan untuk ini. Pertama, adanya sentimen anti-komunisme yang amat kuat pada diri para intelektual Orde Baru. Kedua, adanya pembagian ilmu sosial ke dalam berbagai disiplin yang berbeda di mana masing-masing memiliki garis-garis pembatas yang jelas dan pasti (ekonomi, sosiologi, ilmu politik, hukum, dan lain-lain). Ketiga, adanya embedded statism dalam ilmu sosial yang mengasumsikan negara-bangsa sebagai unit analisis sehingga terdapat kecenderungan untuk mengarahkan pembahasan pada kebijakan nasional ketimbang kenyataan sosial konkret yang tidak terpaku secara rigid dalam garis-garis batas administratif.


Pengabaian kelas ini tentu saja patut disayangkan mengingat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia isu kelas menjadi salah satu motor penggerak bagi perlawanan yang muncul dari kaum pribumi terhadap pemerintah kolonial. Mengutip Sjahrir, Dita Indah Sari dalam Prisma (No. 7-1995) mengatakan bahwa ‘…gerakan buruh yang berwatak kelas telah memberikan watak kelas dalam perjuangan pembebasan nasional di Indonesia.’ Namun, lanjutnya dengan mengutip Vedi R. Hadiz, gerakan buruh itu tidak memungkinkan untuk menjadi kekuatan pokok karena kurangnya ‘basis material’. Pasalnya, mayoritas rakyat Indonesia waktu itu masih hidup di sektor pertanian dan terbelakang. Lebih jauh dari sekedar persoalan kondisi obyektif sebagaimana dipahami Hadiz, Dita mengatakan bahwa kegagalan dari gerakan buruh tersebut juga terutama disebabkan oleh adanya kesalahan pokok kaum kiri saat itu dalam melihat tahapan perjuangan kelas buruh negeri-negeri jajahan. Menurutnya, kelas buruh di Indonesia waktu itu terlalu bersifat kekiri-kirian karena terlalau banyak dipengaruhi oleh ide-ide sosialisme. Watak yang terlampu kiri ini membuat ‘mereka tidak sadar bahwa tahapan perlawanan pembebasan nasional adalah muara dari perjuangan pembebasan nasional Indonesia.’ Dalam programnya, PKI menempatkan perjuangan menuju sosialisme sebagai esensi dari perjuangan pembebasan nasional. Akibatnya, mereka gagal menggalang dukungan yang lebih luas dari masa di luar buruh. Inilah yang menurut Dita menjadi penyebab utama gagalnya gerakan buruh pada waktu itu.

Baca entri selengkapnya »


Oleh: Heru Prasetia (Anggota Tim Kerja lafadl Initiatives)

(Ini adalah sebagian dari catatan lapangan saya ketika melakukan penlitian tntang komunitas wetutelu di Lombok tahun 2005 lalu. Penelitian itu sendiri—bersama dengan empat penelitian lainnya—telah dibukukan dengan judul: Hak Minoritas, Dilema Multikulturalisme di Indonesia (review atas buku ini bisa dilihat di sini dan sini). Bagian-bagian yang tidak dimasukkan dalam buku tersebut barangkali masih bisa bermanfaat jika disampaikan kepada khalayak. Catatan kcil di bawah ini adalah salah satu contohnya)

Hari itu, selasa 1 Maret 2005. Pagi-pagi kami (saya dan Syihab) bangun, mandi dan sarapan. Kemudian langsung berangkat ke Semokan. Sebuah tempat yang ditinggali oeh pimpinan adat wetutelu. Di sana juga terdapat salah satu dari beberapa geliontirt masjid adat wetutelu di Pulau Lombok. Dengan menyewa dua kendaraan bermotor.

Saya dan Syihab ditemani dua pemuda dari Bayan, namanya Selih dan Sapar. Sungguh jauh perjalanan ke Semokan. Sehari-hari kami tinggal di Loloan, Bayan. Mungkin jaraknya tidak teramat jauh, tapi jalan terjal yang harus dilewati sungguh melelahkan. Sempat kehabisan bensin. (Oya, kami juga baru tahu kalau harga BBM naik. Ini ada catatan dari Syihab tentang pengalamannya beli besin kala BBM mulai naik:

Di tengah jalan, aku sempatkan sejenak untuk mengisi bensin di kios tepi jalan di daerah desa Sukadana. 2 liter aku pesan, lalu ibu muda pemilik kios menuangkannya ke tangki motor milik paman Sapar dan Selih. Aku tanya berapa bu? Dia menjawab, 2000. Aku berpikir ibu ini mungkin belum tahu informasi kenaikan harga semalam. Lantas aku pancing dengan sahutan, “Tidak salah Bu?”. Tapi jawaban ibu ini sungguh membutku bangga bisa ke Bayan. “Wah tidak enak Mas, karena ini bensin belinya kemaren sebelum naek”.

Kami naik ke atas mendekati pegunungan hingga jalanan tak lagi beraspal. Jalan tanah itu cukup lebar, cukup untuk dilewati mobil, tapi pasti akan sangat tersiksa sebab banyak lobang lebar menganga. Setelah meliuk-liuk sepanjang jalan, kami mulai masuk di hutan adat. Jalanan mulai mendaki. Sesekali berhenti untuk bertanya. Anak-anak Bayan ini (Sapar dan Selih) bahkan satu kali pun belum pernah pergi ke masjid Semokan. Di sepanjang jalan di hutan itu, sesekali kami melewati rumah penduduk. Di dusun Semokan, rumah-rumah penduduk memang menyebar, jauh satu sama lain. Kami sempat kebablasan sekitar 1 km. Akhirnya balik lagi ke bawah. Bertanya di sebuah warung di pinggir hutan lebat. Untung di sana sedang duduk inaq lokaq pemangku (istri amaq lokaq pemangku—salah satu dari tiga pemuka adat wetutelu di wet semokan).

Setelah menunggunya selesai makan sirih, kami berangkat menembus hutan. Jalannya setapak sempit dan terjal. Menuruni tebing, menyeberagi sungai, naik tebing lagi, hingga sampai di sebuah pelataran luas. Di sana ada tiga buah kampu (rumah). Masing-masing dihuni tiga pemimpin wetutlu wet semikan: amaq lokaq pemangku, amaq lokaq monthong dan amaq kiai. Wilayah Wet Semokan ini meliputi tiga pembekelan (pemimpin adat sebuah wilayah), kalau dari sisi administratif wilayah itu ada meliputi 9 dusun. Baca entri selengkapnya »


Oleh: Bosman Batubara (geologis, anggota Forum Lafadl)

Beberapa waktu yang lalu, laman ini ‘geger’ dengan hadirnya tulisan saudara Muhammad Syihabuddin yang berjudul: ‘Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik’. Dalam ingatan saya yang pelupa, ini merupakan tulisan yang paling banyak ditanggapi oleh pengunjung blog lafadl. Dan tulisan ini sendiri, lepas dari pro maupun kontra terhadap tulisan itu, hendak melanjutkan diskusi tentang fenomena acara Empat Mata-nya Tukul. (Lebih jauh tentang Tukul, klik di sini). Dengan sendirinya, tulisan ini akan (berusaha) pumpun pada, dan dipersembahkan untuk acara tersebut.


Apologia saya: seperti mungkin yang sudah diketahui oleh beberapa budiwati/man pembaca, lapangan yang saya geluti adalah ilmu kebumian. Karenanya andaikata nanti ada perihal yang tak sesuai, terlalu dangkal, dan tak jelas menurut kategori budiwati/man dalam tulisan saya ini, dengan tangan terbuka dan hati yang tulus ikhlas, saya menyilakan anda, kalau bisa, jangan hanya berperan serta, tetapi berperan kunci dalam perayaan kelucuan ini.
Satu hal yang mengganjal dalam benak saya adalah bagian terakhir tulisan saudara Muhammad Syihabuddin yang intinya menyatakan bahwa tayangan Empat Mata-nya Tukul ‘mendegradasi selera humor kita.’ Tampaknya perlu diperjelas kita dalam hal ini siapa, karena humor memiliki keterikatan spasial dan temporal. Baca entri selengkapnya »