Busana, Identitas, dan Makna…

Rabu, 18 Maret 2009

Konon, setiap kali mencoba duduk di singgasananya, Raden Patah, raja pertama kesultanan demak itu, tiba-tiba jatuh sakit, tak sadarkan diri, dan terjungkal. Baru setelah ia melepas pakaian hajinya dan menggantikannya dengan tutup kepala Jawa, lengkap dengan ornamen-ornamen di telinganya, ia dapat duduk di singgasananya dengan selamat. De Graaf, sebagaimana dikutip Van Dijk dalam tulisannya yang berjudul Sarung, Jubah, dan Celana. Penampilan sebagai Sarana Pembedaaan dan Diskriminasi, mencatat anekdot ini untuk mejelaskan arti penting pakaian dalam kontestasi identitas Jawa-Islam di masa lalu. Tentang pertarungan islam dan jawa ini, banyak ahli telah menuliskan analisisnya.

Secara sederhana ada dua pendapat mengenai hal ini. pertama pendapat yang mengatakan bahwa seislam-islamnya orang jawa, ia tetaplah orang jawa. Pendapat ini tentu merujuk pada kuatnya resistensi jawa atas islam. Jadi, islam yang ada di jawa, adalah islam yang telah dijinakkan, telah dijawakan. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa sejawa-jawanya orang islam, ia tetap orang islam. Maksudnya, meski ada aroma jawa, meski ada unsur jawa dalam praktik keagamaan orang islam-jawa, sejatinya itu adalah praktik yang juga berakar pada tradisi islam. Pendapat semacam ini diwakikli oleh Woodward. Sedangkan pendapat pertama tadi tercermin pada penilaian Geertz atas apa yang ia sebut sebagai agama orang jawa.

Di sisi lain, kisah tadi juga menyampaikan pesan bahwa pakaian bukan semata kain pembungkus tubuh tapi juga menjadi tanda yang membangkitkan makna-makna sosial. Pakaian haji,misalnya, punya makna sosial tertentu pada jaman tertentu pula. Pakaian jenis jubah putih itu pernah menjadi tanda perlawanan terhadap kolonialisme, terutama ketika identitas Islam menguat sebagai simbol perlawanan terhadap orang Barat. Di Sumatera, orang-orang berpakaian putih, kaum padri, memompakan perang terhadap adat yang disokong Belanda. Di Jawa, Pangeran Diponegoro, mengenakan jubah putih-putih ketika mengobarkan perang sabil melawan Belanda.

Pakaian perang Islam dan pakaian haji putih ini sempat menggetarkan jantung kekuasaan kolonial hingga mereka merasa perlu membuat aturan yang lebih ketat tentang cara berpakakaian dan siapa saja yang berhak mengenakan baju putih-putih itu pada akhir abad 19. Demikian tulis Van Dijk dalam tulisannya tadi. Kebijakan ini sejalan dengan sikap penuh curiga pemerintah kolonial Belanda terhadap gerakan politik Islam. Sebagaimana dituturkan Robert Hefner dalam Civil Islam, pemerintah kolonial Belanda memang sangat mencemaskan kekuatan politik Islam sehingga merasa perlu menerapkan upaya untuk memonitor, mengawasi, dan meminimalkan aktivitas politik Islam. Dan itu termasuk dalam soal berbusana.

Pernah pada suatu masa, jenis pakaian haji, sarung, dan songkok adalah lambang perlawanan terhadap kolonialisem, setidaknya terhadap budaya kolonial dalam soal busana. Pernah pula terdengar pada masa-masa itu fatwa haram pada dasi.

Kini, busana muslim juga makna semiotiknya sendiri. Di masa-masa kampanye ini, misalnya, orang begitu sibuk menampilkan kesan islami melalui busana. Yang paling menonjol misalnya adalah caleg-caleg perempuan dari partai yang dikenal berbasis orang abangan. Kini tiba-tiba dari mereka kebanyakan mengenakan kerudung atau jilbab di foto-foto mereka yang menggantung di pohon-pohon pinggir jalan itu…

3 Responses to “Busana, Identitas, dan Makna…”

  1. jaiman1 Says:

    benar Pak, kayaknya kita kagak kenal sama mereka, dan mereka juga tidak ingin kenal, cuma yang diinginkan hanya contrengannnya aja…. eh… sori…
    no way no vote….

  2. annelis Says:

    tulisannya pendek, tagnya banyak banget

  3. adek Says:

    Begitulah “kemasan” yang terpakai atau sekedar menempel di tubuh manusia. Kita tidak akan pernah tahu persis “isi” dari “kemasan” yang terlihat indah dan beraneka ragam. Andaikan tubuh itu telajang, kita tetap tidak akan tahu persis ada apa dibalik tubuh telanjang itu. Btw, walaupun pakaian “agamis” itu dapat terlihat “fashionable”, apakah dapat mengurangi “alergi” pihak barat ?


Tinggalkan Balasan ke annelis Batalkan balasan