Perkembangan Ekonomi Pengusaha Santri di Tasikmalaya,1930-1980-an

Senin, 25 Desember 2006

Oleh:
Amin Mudzakkir (Anggota Forum Lafadl, Peneliti LIPI)

Pendahuluan
Tulisan ini hendak menunjukan tanggapan pengusaha santri terhadap tantangan dan kesempatan ekonomi di Tasikmalaya, sebuah kota kecil di Jawa Barat, sejak 1930 sampai 1980-an. Rentang waktu sepanjang lima puluh tahun itu akan melewati satu episode yang belakangan kembali menjadi isu aktual dalam debat historiografi Indonesia, yaitu dekolonisasi ekonomi. Lebih dari sekedar episode temporal, dekolonisasi ekonomi menjadi isu konseptual yang ditandai secara historis dengan peralihan kekuasaan negara, dari negara kolonial ke negara pasca-kolonial. Pada satu sisi, sejauh mana peranan negara, termasuk dalam periode peralihan kekuasaan, berdampak terhadap kehidupan ekonomi, sampai sekarang masih menjadi sebuah pertanyaan besar. Pada sisi lain, bagaimana tanggapan dan dinamika internal pengusaha terhadap kebijakan negara merupakan satu pertanyaan yang masih menjadi debat menarik.


Akan tetapi, Mc Vey (1998) mencatat bahwa debat yang berlangsung di kalangan pengamat masih berkutat pada kenyatan di tingkat nasional, sementara kenyatan pada tingkat lokal hampir terabaikan. Sampai tingkat tertentu, tulisan ini hendak menjawab catatan Mc Vey tersebut dengan memperlihatkan pasang-surut perkembangan ekonomi pada tingkat lokal. Akan tetapi, alih-alih membahas perkembangan ekonomi secara umum, bagian terbesar tulisan ini berisi penjelasan tentang bagaimana sebuah komunitas ekonomi di  Tasikmalaya menanggapi dua kekuatan struktural yang telah menjadi dua bandul utama dalam spektrum kehidupan ekonomi, yaitu negara dan pasar.
Komunitas ekonomi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kaum santri. Terlepas dari debat konseptual di sekitar istilah ‘santri’, banyak kajian yang menyebut mereka sebagai wakil masyarakat pribumi yang paling mampu dan paling berpotensi untuk menjadi kelas kapitalis dalam struktur masyarakat Indonesia. Sebagian penjelasannya dicari pada akar-akar budaya dan agama yang menumbuhkan etos kewirausahaan mereka, sementara penjelasan yang lain dicari pada akar struktur dan jaringan yang dimilikinya. Tanpa hendak bermaksud terlalu jauh masuk ke dalam debat perspektif tersebut, tulisan ini lebih berkonsentrasi untuk menjelaskan bahwa kaum santri bukanlah entitas tunggal yang seragam. Apalagi ketika mereka masuk ke dalam dunia ekonomi, kompleksitas yang berakar pada relasi kuasa antara negara dan pasar tampaknya menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam usaha untuk menjelaskan perkembangan ekonomi mereka.

Menguatnya Peran Negara
Dalam sejarah ekonomi politik di Indonesia, Depresi ekonomi 1930-an menandai babak baru hubungan antara negara dan pasar (Robison, 1986: 10). Sekarang, bandul kebijakan sedang berada dalam kuasa negara, setelah sebelumnya berada dalam kuasa swasta. Masa ini ditandai dengan jatuhnya sektor perkebunan secara dramatis, terutama industri gula di Jawa dan sebagian industri karet di Sumatra pada satu sisi, sementara pada sisi lain terjadi peningkatan arus investasi dalam bidang minyak, timah, dan industri manufaktur berskala menengah dan besar. Perkembangan di sektor-sektor ekonomi yang relatif baru ini, tentu saja, membawa dampak bagi peningkatan peranan modal asing non-Belanda di Hindia Belanda.
Pemicu awal Depresi 1930-an adalah merosotnya bursa saham Wall Street di New York pada bulan Oktober 1929 yang kemudian dengan cepat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi riil dengan turunnya tingkat permintaan dan investasi di pasar internasional. Negara yang paling terpukul oleh Depresi ini adalah negara-negara yang terlalu bergantung pada ekspor barang-barang primer. Hindia Belanda termasuk jenis negara seperti ini. Aklibatnya, demikian menurut Wertheim (1999: 78), berdasarkan berbagai laporan statistik yang dikeluarkan oleh Liga Bangsa-bangsa, Hindia Belanda mengalami akibat lebih lama dan lebih berat dibanding negara-negara lainnya.
Tanggapan pemerintah terhadap Depresi adalah dengan cara mempromosikan sejenis ekonomi mandiri yang mengandalkan struktur modal pada pasar domestik. Secara politik, usaha pemerintah seperti ini manandai perubahan wacana formasi negara-bangsa (nation-state formation) di Hindia Belanda. Hindia Belanda pasca Depresi hadir sebagai unit ekonomi otonom yang diatur sepenuhnya oleh negara, meski secara terbatas memberikan ruang partisipasi bagi kepentingan orang-orang Pribumi dan Belanda (Dick, 2002: 153-154).
Dalam tingkat yang agak berbeda, sejak awal abad ke-20 sedang berlangsung perdebatan tentang ideologi dan bentuk negara seperti apa yang mesti dipakai di Hindia Belanda. Perdebatan itu sebagian berasal dari meluasnya ide-ide liberalisme yang bersamaan waktunya dengan semakin kokohnya kekuasaan kolonialisme. Di bagian lain, pada saat yang sama, sedang muncul gelombang nasionalisme yang memberi dasar ideologis bagi banyak tokoh-tokoh pribumi untuk menuntut ruang partisipasi ekonomi politik yang lebih luas.
Akan tetapi, sejak terjadinya Depresi, negara justeru mendapatkan legitimasi untuk memperkuat dirinya, sehingga hadirlah sebentuk negara yang oleh Anderson (2000: 209-215) disebut beamtenstaat.  Dengan jumlah aparat birokrasi yang makin meningkat, negara hadir dalam berbagai bentuk kehidupan masyarakat pribumi. Dalam kehidupan perekonomian pasca Depresi, ide tentang pentingnya intervensi negara ke dalam pasar menjadi sangat populer, setelah terbukti swasta gagal memegang peranannya. Ide ini sering disebut ekonomi “Keynesian”, merujuk pada tokoh utama ide kebijakan ekonomi ini, John Maynard Keynes (Booth, 1998: 154-157). Setelah Depresi, kebijakan ekonomi politik liberal yang bersifat laissez-faire digantikan oleh Kebijakan ekonomi politik proteksionis yang mengandalkan substitusi impor, proteksi, dan restriksi (Dick, 2002: 155-167; Furnivall, 1944: 438-439).


Secara ekonomi, dampak kebijakan pasca Depresi terhadap pemulihan peranan Hindia Belanda di pasaran internasional tampaknya masih menjadi pertanyaan. Howard Dick (2002: 155) bahkan dengan tegas menyebut kebijakan baru itu terlalu terlambat dan tidak berguna sama sekali. Kendati demikian, dampak kebijakan baru itu terhadap kehidupan ekonomi riil Hindia Belanda amat besar. Segera setelah kebijakan baru itu dikeluarkan, pemerintah kolonial mengembangkan semacam ruang partisipasi bagi para pengusaha pribumi untuk tumbuh dan berkembang dengan berbagai skema bantuan keuangan dan politik. Kebijakan ini sebenarnya menyusahkan pemerintah, sebab pada saat yang sama neraca anggaran penerimaan dan pengeluaran negara sedang defisit. Neraca anggaran Hindia Belanda pada 1929 menunjukan angka penerimaan sebesar 840, 7 f. Mil dan pengeluaran sebesar 832, 2 f. Mil, sementara pada 1931 menunjukan angka penerimaan sebesar 580, 5 f. Mil dan angka pengeluaran sebesar 735, 9  f. Mil. Keadaan ini disebabkan oleh sistem keuangan Hindia Belanda yang amat tergantung pada konjungtur pasar internasional. Meski demikian, rencana kebijakan tersebut harus tetap dijalankan untuk mempertahankan keberadaan para produsen domestik dari kebangkrutan karena semakin besarnya penetrasi modal dan produk Jepang. Untuk itu, penghematan besar-besaran pada sektor pengeluaran negara yang lain harus benar-benar dijalankan (Furnivall, 1944: 441-443).
Dampak yang paling terasa dari kebijakan ekonomi politik yang sentralistis pasca Depresi terlihat dalam sektor industri manufaktur. Pada tahun-tahun pertama pasca Depresi, banyak penduduk yang kehilangan pekerjaan karena banyaknya industri perkebunan yang bangkrut (Burger, 1970: 193). Keadaan ini terutama kentara di perkotaan. Di Jawa, hampir semua sektor ekonomi yang berkait dengan industri gula pada masa itu mengalami kemunduran. Akibatnya banyak pemecatan, sehingga angka jumlah pengangguran meningkat tajam (Ingleson, 1988: 292-309).
Menanggapi keadaan yang semakin sulit, pemerintah pada 1933 mengeluarkan kebijakan baru tentang peridustrian yang didalamnya memuat peraturan tentang substitusi dan restriksi impor untuk menghadapi penetrasi modal dan produk Jepang yang semakin besar. Untuk itu, pabrik-pabrik yang berorientasi pasar domestik dibangun, terutama di wilayah Jawa Barat. Wilayah ini mendapatkan keuntungan karena kecilnya pengaruh kejatuhan industri gula, selain memperoleh keuntungan dari pulihnya harga karet dunia (Dick, 2002: 157). Di Jawa Barat pula, khususnya di wilayah Priangan, muncul kebangkitan industri kecil milik para pengusaha pribumi, terutama pada industri tekstil dan kerajinan (Burger, 1970: 195).


Seoarang pengamat yang beraliran Weberian akan tergoda untuk mengkaitkan munculnya Jawa Barat sebagai wilayah pertumbuhan ekonomi baru tersebut dengan latar belakang budaya wilayah ini. Menurut Pigeaud, salah seorang dari jenis pengamat tersebut, konstruksi budaya Sunda yang lebih bersifat Islam memberikan keuntungan bagi para pengusaha untuk bangkit, karena di sini posisi pengusaha sebagai “golongan menengah” mempunyai derajat yang terhormat disamping para pegawai negeri dan kaum terpelajar lainnya. Pigeud membandingkannya dengan budaya Jawa yang bersifat feodal. Di Jawa, pekerjaan pedagang atau pengusaha dianggap sebagai pekerjaan yang tidak terhormat dan penuh tipu daya. Selain itu, sifat kepemilikan tanah di Jawa Barat, khususnya Priangan, yang bersifat individualis membantu penduduk untuk bersikap otonom terhadap pengaruh otoritas politik kaum bangsawan (Burger, 1970: 229-230).
Pengamat yang beraliran lebih struktural tentu akan segera mempertanyakan pandangan Pigeud di atas. Yang pasti, munculnya industri kecil milik para pengusaha pribumi di Priangan tidak bisa dipisahkan dari perubahan kebijakan ekonomi politik pemerintah kolonial pasca Depresi. Akan tetapi, pengaruh kebijakan tersebut sebenarnya merupakan bagian dari tanggapan yang diberikan oleh pengusaha pribumi dalam konteks sosial ekonomi yang lebih luas. Bagaimanapun, sebagian besar penduduk Tasikmalaya khususnya, serta Priangan umumnya, adalah petani. Berdasarkan sensus penduduk 1930, sekitar 67,7 % penduduk Tasikmalaya adalah petani (Svensson, 1983: 103) Besarnya angka jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian ternyata tidak didukung oleh tingkat distribusi tanah yang merata. Sejak priangan stelsel diperkenalkan, model kontrol terhadap tanah di wilayah ini lebih bersifat individual, bukan komunal. Model tanah seperti ini banyak memunculkan para pemilik tanah yang kaya raya. Sebagian besar di antara mereka adalah para haji. Ketika monetisaasi menjadi kecenderungan umum di desa-desa di Jawa sejak diperkenalkannya sistem Tanam Paksa, banyak para pemilik tanah luas di Priangan yang menanggapinya dengan melakukan diferensiasi usaha di luar sektor pertanian.
Kecenderungan di atas semakin meningkat terutama menjelang awal abad ke-20 di wilayah-wilayah sekitar jalur kereta api dan jalan raya utama. Banyak di antara mereka yang menjual sebagian asetnya di sektor pertanian, kemudian menginvestasikannya di sektor non-pertanian. Pada sisi lain, melihat kesempatan ekonomi seperti ini, banyak penduduk tuna-tanah di pedesaan yang melakukan urbanisasi ke kota (Svensson, 1983: 105-106). Kelahiran sebagian besar para pengusaha dan pengrajin batik serta kerajinan di kota Tasikmalaya pada awal abad ke-20 dapat dijelaskan dengan penjelasan tersebut. Namun, sebelum 1930-an, kegiatan ekonomi mereka kebanyakan hanya sekedar sambilan untuk menutupi kekurangan yang sebagian besar masih bertumpu pada sektor pertanian (wawancara, H. Khalid Servia, 6 Januari 2005)

Tabel 1. Distribusi Kepemilikan Tanah di Tasikmalaya pada tahun 1905

Ukuran    Jumlah Pemilik
<1    24.891
1-3    21.257
-4-8    14.224
9-14    3.036
15-29    757
>30    114
Total    64.279

Sumber: Thommy Svensson“Peasant and Politics in Early Twentieth-Century West Java”, Studies on Asian Topics No. 5 Indonesia and Malaysia: Scandinavian Studies in Contemporary Society (London dan Malmo: Curzon Press, 1983)

Memasuki tahun-tahun awal Depresi, sebagian besar pengusaha batik  Tasikmalaya sebenarnya mengalami kebingungan. Pasaran menjadi lesu karena tingkat daya beli masyarakat menurun secara drastis. Sebagai gambaran, GDP (Gross Domestics Product) per kapita Hindia Belanda pada 1933 jatuh sekitar 16 % di bawah angka rata-rata tahun 1928/1930. Sementara itu, bahan-bahan yang dibutuhkan untuk produksi mereka, seperti kain mori (cambrics), semakin susah untuk dicari, atau kalau tersedia pun harganya amat tinggi. Pada saat yang sama, pedagang-pedagang Cina yang mempunyai toko-toko bahan-bahan kebutuhan para pengusaha pribumi enggan untuk diajak bekerjasama, bahkan mereka semakin menjerat dengan memberikan kredit-kredit barang dengan bunga yang amat tinggi (Marlina, 1990: 78).
Paparan di atas memperlihatkan, kondisi pasar pada 1930-an sebenarnya tidak memungkinkan lahirnya sebuah usaha yang akan menguntungkan, apalagi kalau usaha tersebut bermodal kecil. Namun, kebijakan pemerintah yang mendorong kapasitas pengusaha pribumi adalah pilihan kebijakan dengan ongkos politik paling murah. Secara ekonomi, kebijakan tersebut sebanarnya berhasil melindungi kepentingan kaum modal dari kejatuhan yang lebih dalam. Relasi kuasa antara modal dengan negara bagaimanapun tetap menjadi dasar legitimasi politik kolonial. Permasalahan yang dihadapi oleh pasar bukan soal tarik menarik efisiensi antara penawaran dan permintaan sebagaimana direkomendasikan ekonom liberal, tetapi menyangkut relasi kuasa bagaimana sebuah kelas dominan mempertahankan dirinya di tengah formasi negara-bangsa yang berubah.
Menyadari keadaan yang tidak menguntungkan tersebut, pada tahun-tahun pertama pasca Depresi, beberapa pengusaha batik Tasikmalaya berinisaitif untuk mengkonsolidasikan diri. Mereka berkumpul di rumah Rd. Kartadibrata, kemudian sepakat membentuk koperasi yang diberi nama “Pangroyong” untuk mengkonsolidasikan kekuatan agar tidak terpuruk lebih jauh lagi. Meski sudah mendapatkan dukungan dari Bupati Tasikmalaya, R. Wiratanuningat, keberadaan koperasi ini tidak dapat banyak membantu kesulitan para pengusaha pribumi (Tim Penerbitan Buku Dokumenter [TPBD], 1989: 11-17).
Pada 1934, sebuah departemen baru yang dibentuk pasca Depresi, Departemen van Economische Zaken, mengadakan serangkaian pembicaraan dengan para pengusaha batik pribumi untuk mencari formula yang menguntungkan bersama dalam rangka menghadapi penetrasi modal dan barang Jepang. Beberapa pengusaha batik pribumi terkemuka mengajukan tuntutan agar mereka dapat membeli kain mori langsung dari importir tanpa harus lewat perantara pengusaha-pengusaha orang-orang Cina yang dipandang tidak dapat bekerjasama secara saling menguntungkan. Akan tetapi, serangkaian pembicaraan tersebut gagal menghasilkan kata sepakat.
Departemen van econmische zaken sebenarnya telah menetapkan tarif resmi untuk kain mori dan bahan-bahan pembatikan lainnya, tetapi kenyataan di lapangan menunjukan hal lain. Pada masa itu, di Tasikmalaya terdapat empat toko yang menjual bahan-bahan pembatikan. Tiga milik orang Cina Cina, yaitu Tan Tjen Tong, Tan Tiauw It, dan Tan Tjeng Hong. Mereka hanya menjual kain mori pada orang-orang tertentu, akibatnya para pengusaha batik pribumi pada umumnya merasa dirugikan. Lagi pula, toko-toko tersebut terkadang tidak menghiraukan tarif resmi yang telah dipatok oleh departemen van economische zaken. Yang satu lagi milik seorang pengusaha Pakistan yang bernama Abdul Madjid. Banyak pengusaha batik yang lebih memilih membeli bahan-bahan batik dari toko ini. Alasannya lebih bersifat ideologis daripada ekonomis; karena sama-sama muslim, maka lebih baik membeli dari toko Pakistan ini daripada dari toko Cina (wawancara, H. Khalid Servia, 6 Januari 2005).
Sekitar pertengahan 1938, beberapa pengusaha batik berkumpul di rumah D. Sumiraatmadja. Di tempat ini mereka memperbincangankan permasalahan yang sedang mendera mereka, dan mencari jalan untuk mengatasinya. Pertemuan lebih serius dilaksanakan beberapa waktu kemudian di rumah Iya Suriya di Gudang Jero. Puluhan pengusaha batik hadir. Mereka kemudian sepakat untuk membentuk koperasi baru yang lebih bersifat politis guna mengupayakan pemecahan atas permasalahan yang mendera mereka. Koperasi baru itu diberi nama koperasi ‘Mitra Batik’. Beberapa koperasi batik lain yang telah ada sebelumnya, termasuk koperasi Pangroyong, bergabung ke dalam koperasi Mitra Batik. Pada akhir 1930-an, hampir semua pengusaha batik Tasikmalaya tergabung ke dalam koperasi Mitra Batik (tpbd, 1989: 127). Keberhasilan para pengusaha batik Tasikmalaya mengkonsolidasikan di ke dalam satu wadah koperasi tidak lepas dari dukungan yang diberikan oleh jaringan para pengusaha batik santri di kota-kota lain di pulau Jawa. Dukungan yang paling berarti datang dari rekan-rekan mereka di Yogyakarta, Solo, Tulung Agung, dan Pekalongan. Jaringan di antara pengusaha batik santri pribumi inilah yang kelak pada 1948 mendirikan Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) (wawancara, H. Endun AR, 30 Januari 2005; TPBD, 1989: 315-320; Purwanto, 2000: 68-69).
Selain dukungan dari sesama pengusaha pribumi, pemerintah kolonial pada akhir tahun 1930-an memang sedang gencar-gencarnya mendukung pembentukan koperasi (Burger 1970: 229). Sekitar akhir 1938, seorang ambtenaar voor de cooperatie & binnenlansche bernama R. S. A. Kosasih ditugaskan di Tasikmalaya, setelah sebelumnya bertugas di Serang, Banten. Kehadiran R. S. A. Kosasih benar-benar dimanfaatkan oleh para pengusaha batik untuk melobi para pejabat di Departemen van Economische Zaken di Jakarta agar memberikan izin kepada mereka untuk dapat membeli kain mori dan bahan-bahan pembatikan lainnya langsung dari importir. Sebagai modal awal mereka telah mengumpulkan uang sebesar f. 9.000 Usaha mereka akhirnya berhasil, meski pihak departemen mensyaratkan beberapa hal yang cukup ketat. Di antara syarat itu adalah: pembayaran kain mori harus lunas, kain mori tidak boleh diperjuabelikan, dan semua pengusaha batik tidak boleh berhutang sedikitpun kepada toko kain mori sebelumnya.
Mengetahui keberhasilan para pengusaha batik untuk membeli secara langsung kain mori dan bahan pembatikan lainnya dari importir, para pemilik toko kain mori di Tasikmalaya, terutama para pedangang Cina, tentu saja menolak kebijakan pemerintah tersebut. Mereka sadar kalau para pengusaha batik membeli langsung kepada importir,  toko mereka akan bangkrut. Akan tetapi, kekuatan lobi dan konsolidasi para pengusaha batik terlalu kuat untuk dihadapi oleh pedagang-pedagang Cina tersebut, sehingga akhirnya para pengusaha toko kain mori di Tasikmalaya secara perlahan mendapatkan dirinya dalam kemunduran (TPBD, 1989: 15). Lebih luas dari itu, peran pedagang atau pengusah Cina sebagai pedagang perantara di Jawa pasca Depresi memang sedang mengalami kemunduran. Penyebabnya berasal tekanan eksternal dan juga kelemahan internal. Hal ini menjadi penyebab mengapa pengusaha Cina yang bergerak di sektor perdagangan  perantara  tidak  mampu  memperjuangkan  kepentingannya dihadapan negara (Djie, 1995).
Setelah berhasil membeli laingsung kain mori dan bahan-bahan pembatikan lainnya dari importir, usaha para pengusaha batik Tasikmalaya secara perlahan menunjukan tanda  kemajuan. Sayang belum ada angka statistik yang pasti tentang kemajuan ini. Akan tetapi tanda kemajuan itu paling tidak terlihat dari kemampuan  para pengusaha batik yang tergabung dalam koperasi Mitra Batik untuk mendirikan kantor dan gudang produksi dan penyimpanan baru. Sebelumnya mereka hanya menumpang di rumah H. Eni, seorang pengusaha batik terkemuka yang juga salah seorang pendiri koperasi.
Keberhasilan pengusaha batik ternyata memberi arti penting terhadap  kalangan pengusaha kerajinan. Sejak akhir tahun 1930-an, kebutuhan material para pengusaha payung yang tergabung koperasi ‘Mitra Payung’ sebagiannya didapatkan dari para pengusaha batik (TPBD, 1989: 16-17). Jaringan ekonomi yang mengandalkan alasan-alasan ideologis, terutama ikatan ke-pribumi-an yang bertumpang tindih dengan ikatan ke-Islam-an, sampai tingkat tertentu memberi bentuk bagi konsolidasi pengusaha batik dan kerajinan untuk menanggapi tantangan dan kesempatan pasar. Meski dalam perkembangannya ikatan-katan tersebut harus dipertanyakan ulang arti ekonomisnya, pada masa akhir kolonial jelas hal itu masih harus dianggap penting, apalagi pada saat yang sama ikatan tersebut dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan nasionalis sebagai alasan faktual kritik-kritik mereka terhadap kekuasaan negara kolonial.
Berbicara tentang pengusaha kerajinan, meski perananya tetap penting dalam konteks ekonomi kaum pribumi, tingkat produksi dan organisasi ekonomi mereka bagaimanapun tidak pernah mencapai kemajuan sebesar batik. Penyebab yang paling mungkin karena kebanyakan barang kerajinan dipersiapkan sebagai barang seni, bukan untuk kebutuhan sehari-hari. Meski demikian, sejak pertengahan abad ke-19, barang kerajinan dari Tasikmalaya sudah mendapatkan reputasi yang luas, terutama di kalangan orang-orang Eropa, sehingga tidak heran sebagian dari barang tersebut diekspor ke Eropa. Di antara barang kerajinan yang paling diminati adalah anyaman pandan dan bambu (Soeroto, 1983: 23-24).
Memasuki abad ke-20, sektor kerajianan tampaknya tidak mengalami kemajuan berarti. Pada awal 1930-an, beberapa koperasi didirikan, diantara yang terkemuka adalah kopersi ‘Mitra Payung’, sebuah koperasi yang mewadahi hampir semua perajin payung Tasikmalaya. Ketua pertamanya adalah H. Mawardi, seorang pengusaha yang amat dekat hubungannya dengan koperasi Mitra Batik. (TPBD, 1989: 15). Produksi payung Tasikmalaya antara 1934 dan 1940 bertambah dari 330.000 buah menjadi 1.800.000 buah, jauh di atas produksi payung Juwiring, Klaten, yang pada 1940 hanya mampu memproduksi 400.000 buah (Burger, 1989: 196).
Demikianlah, tahun 1930-an adalah masa kebangkitan bagi para pengusaha pribumi muslim di Kota Tasikmalaya. Dukungan negara lewat kebijakan ekonomi yang dalam pengertian terbatas lebih bersipat partisipatif telah membantu para pengusaha untuk mengkonsolidasikan diri, terutama ke dalam wadah-wadah berbentuk koperasi. Melalaui koperasi inilah para pengusaha berhasil melakukan lobi-lobi bahkan sampai ke tingkat Jakarta untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas tertentu yang dibutuhkan bagi kelancaran dan kemajuan usaha mereka. Meski tidak ada angka nominal yang pasti, dukungan negara dalam bentuk bantuan finansial tampaknya bukan sesuatu yang mengada-ada, paling tidak kalau dilihat dari adanya dua bank perkreditan rakyat yang sudah didirikan di Tasikmalaya sejak 1898. Bahkan, dikatakan bank perkreditan rakyat di Tasikmalaya termasuk yang termaju di Priangan (Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No. 8, 1976: LVII).

Perang dan Ironi Nasionalisme Ekonomi
Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan ekonomi penduduk menurun drastis. Hampir semua kegiatan penduduk dimobilisasi untuk kepentingan Perang. Di beberapa tempat di pedesaan Tasikmalaya bahkan dilaporkan terjadi kelaparan, suatu keadaan yang menjadi alasan munculnya radikalisme dan resistensi di sebagian kalangan penduduk. Kalangan santri adalah pendukung paling aktif untuk hal ini, sebab selain karena alasan yang telah disebutkan tadi, terdapat alasan yang sifatnya lebih bersifat ideologis-teologis (Kurosawa, 1993: 403-463).
Meski demikian, kegiatan ekonomi sebenarnya tidak mati sama sekali. Pada 1942, para pengusaha batik yang tergabung dalam Mitra Batik pernah sekali menerima pesanan kain blacu dari pemerintah pendudukan Jepang untuk dibuatkan batik (TPBD, 1989: 15-16). Sementara itu, para pengusaha kerajinan selama masa ini tidak mendapatkan pesanan. Banyak di antara pembatik dan perajin pada masa ini hanya mengandalkan dari bercocok tanam di sawah atau di kebun untuk keperluan hidup sehari-hari (wawancara, H. Suherman, 22 Januari 2005).
Proklamasi kemerdekaan dan berdirinya sebuah negara nasional membuat para pengusaha mereorientasi diri untuk mencari posisi yang memadai dalam struktur ekonomi politik yang baru. Tahun-tahun awal bagaimanapun harus dilalui dengan penuh kebingungan. Banyak sumber daya dan infrstruktur ekonomi yang hilang atau rusak sewaktu kekacauan politik pada tahun-tahun awal revolusi. Pada masa itu, banyak pengusaha yang mengungsi meninggalkan kota, menyingkir ke desa-desa, tanpa sempat berhasil menyelamatkan barang-barang mereka (wawancara, H. Khalid Servia, 24 Januari 2005)
Namun, masa kebingungan itu segera saja berlalu, setelah pada awal 1950 kondisi politik nasional berangsur-angsur stabil. Sebuah kabinet dalam suatu alam demokrasi parlementer pertama di Indonesia telah dibentuk pada bulan September 1950. Perdana Menterinya adalah M. Natsir, tokoh Islam terkemuka dari Masyumi. Dalam bahasa Feith (1964: 113-121, 146-147), komposisi dan arah kebijakan dari kabinet Natsir ini sebenarnya mewakili apa yang disebutnya sisi ‘administrator’ dalam panggung politik Indonesia 1950-an. Beberapa minggu sebelum jatuhnya kabinet pertama ini pada bulan Maret 1951, diumumkanlah sebuah kebijakan ekonomi yang diberi nama Rencana Urgensi Pembangunan (RUP)—atau lebih terkenal sebagai program ‘Benteng’—oleh Soemitro Djojohadikusumo, Menteri Perekonomian. Dalam kenyataannya, rencana ini merupakan adopsi yang didasarkan pada kebijakan pemerintah kolonial tentang perusahaan pada 1934. Glassburner menyebut RUP atau program Benteng sebagai “usaha yang amat nasionalistis untuk mengurangi ketergantungan pada kepentingan ekonomi asing dalam banyak hal, lewat pengembangan industri kecil nasional untuk memproduksi barang substitusi impor dengan harapan mengurangi ketergantungan kepada perdagangan asing; juga lewat bantuan modal bagi perusahaan-perusahaan pribumi, dan lewat restriksi pasar tertentu yang khsusus bagi pedagang pribumi” (dalam Booth, 1998: 312-313)
Dengan perkataan lain, kebijakan ekonomi Indonesia pasca kolonial pada  1950-an adalah keberlanjutan dari kebijakan serupa yang diterapkan pemerintah kolonial pada 1930-an. Berbagai kebijakan pemerintah pada masa itu disebut Ben Anderson (2000: 217) sebagai ‘usaha untuk merakit kembali banyak segmen dari beamtenstaat yang lama’. Pada saat yang sama, kemampuan negara untuk mewujudkan kebijakannya hanya ada pada angka-angka di atas kertas, sebab kenyataannya negara Indonesia pada 1950-an kehilangan banyak fungsi ekonomisnya akibat warisan perang dan revolusi, dan juga adanya reorganisasi birokrasi yang memberi jalan bagi masuknya elemen-elemen baru yang tidak ditemukan sebelumnya pada masa kolonial. Elemen paling penting datang dari kekuatan partai politik. Dalam kenyataannya, partai politiklah, kemudian belakangan juga militer, yang mendapatkan keuntungan ekonomi politik paling nyata dari negara pasca kolonial yang masih muda ini. Usaha sebagian kalangan untuk mendorong berkembangnya suatu ‘kelas menengah’ yang mandiri di kalangan pengusaha pribumi berakhir pada tingkat retorika politik, gagal diterjemahkan ke dalam seperangkat aturan ekonomi yang terkendali secara rasional.
Partai Islam yang paling berpengaruh pada masa itu adalah Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang mendapatkan dukungan terutama dari kalangan pengusaha atau pedagang muslim di perkotaaan. Sebaliknya, Nahdlatul Ulama (NU) adalah partai Islam kuat kedua yang terutama mendapatkan dukungan luas dari kalangan pesantren dan kaum petani di pedesaan Jawa. Pengusaha santri di  Tasikmalaya pada 1950-an diketahui merupakan pendukung Masyumi, hanya sedikit saja yang menjadi pendukung NU. Jarang sekali, atau bahkan tidak pernah terdengar, seorang pengusaha muslim di sini yang menjadi pendukung partai-partai lainnya (wawancara, H. Endun AR, 30 Januari 2005; H. Suherman, 22 Januari 2005; H. AE. Bunyamin 24 Januari 2005. Dukungan mereka terhadap Masyumi ternyata mempunyai akibat ekonomi politik yang amat penting bagi perkembangan bisnis mereka. Terutama bagi para pengusaha batik, dukungan terhadap Masyumi menjadi penting artinya karena dengan inilah mereka mendapatkan peluang untuk terlibat aktif dalam GKBI, sebuah perkumpulan yang didirikan koperasi-koperasi batik terkemuka Indonesia pada 1948.
Keberadaan GKBI dalam skema program Benteng pernah menjadi isu ekonomi politik menarik pada 1953. Pada tahun itu, Iskaq Tjokroadisurjo, Menteri Perekonomian dari PNI, hendak mencabut hak monopoli impor kain mori dari GKBI, kemudian dialihkan kepada NV Suez dan NV Goenoeng Perahoe. Kedua perusahaan ini diketahui mempunyai hubungan diam-diam dengan Iskaq dan PNI. Namun, penentangan di perlemen yang terlampau kuat membuat Iskaq harus mencabut kembali keputusannya. Meski kasus ini penuh dengan intrik-intrik politik menjelang Pemilu 1955, keberadaan GKBI dipandang banyak kalangan harus dipertahankan dalam skema program Benteng karena menyangkut ribuan pengusaha batik pribumi yang secara terbatas telah menunjukan kemampuan untuk berkembang. Kendati demikian, berbagi kritik seringkali muncul oleh karena GKBI dipandang hanya menjadi pundi ekonomi bagi Masyumi (Muhaimin, 1991: 168-169).
Demikianlah, sejak didirikannya pada 1948, GKBI pada 1949 mendirikan juga sebuah anak perusahaan, yaitu NV Batik Trading Company (BTC), yang bertindak sebagai agen untuk mengimpor kain mori dan bahan-bahan pembatikan lainnya. Barang-barang tersebut kemudian didistribusikan oleh GKBI. Ketika Masumi memegang posisi-posisi strategis di pemerintahan, GKBI melalaui NV Batik mendapatkan hak monopoli untuk mengimpor kain mori. Pada tanggal 15 September 1953, GKBI melikuidasi anak perusahaannya tersebut dan mengambil alih semua hak monopoli impornya. Bahkan, sampai program Benteng dihentikan pada 1957, GKBI tetap memegang hak monopoli impor kain mori.
Keterlibatan aktif pengusaha batik Tasikmalaya di GKBI telah diperlihatkan sejak pendiriannya pada 1948. Salah seorang tokohnya, H. Badruddin, yang merupakan ketua koperasi Mitra Batik, menjadi bendahara GKBI pada 1955. Pada masa-masa kemudian, posisi H. Badruddin dalam GKBI semakin menguat, sampai pada akhir 1970-an ia menjadi ketua umumnya (TPBD, 1989: 329). Kecemerlangan karir H. Badruddin di GKBI ternyata menuai kontroversi di antara pengusaha batik Tasikmalaya sendiri. Para pengusaha batik yang berafiliasi dengan Muhammadiyah merasa tidak senang dengan pengakuan H. Badruddin di publik nasional yang mengatakan bahwa dirinya adalah Muhammadiyah. Padahal, H. Badruddin diketahu secara luas di Tasikmalaya sebabagi tokoh dan sponsor utama Persatuan Ummat Islam  (PUI). Selain H. Badruddin, ada beberapa pengusaha batik Tasikmalaya lainnya yang terlibat aktif dalam kepengurusan pusat GKBI, tetapi semuanya tidak ada yang melebihi posisi H. Badruddin. Bahkan, ketika peran GKBI semakin merosot setelah masa Orde Baru, H. Badruddin tetap mampu beradaptasi dengan pemerintahan baru tanpa harus dibebani kenyataan masa lalunya yang diketahui merupakan pendukung Masyumi terkemuka (wawancara, H. Endun AR, 30 Januari 2005).
Dapat dikatakan, tahun 1950-an adalah masa kejayaan pengusaha batik Tasikmalaya. Fasilitas yang diperoleh dari GKBI lewat koperasi Mitra Batik benar-benar membantu mereka dalam peningkatan produksi. Selama masa itu, hampir semua rumah di wilayah kota bagian utara—kawasan yang sekarang terkenal sebagai Jalan Mitra Batik—membuka pajagalan, tempat pembuatan batik, bahkan banyak di antara mereka yang membuka toko penjualan batik sendiri. Akibatnya sudah jelas, kemakmuran bukan sesuatu yang jauh dari kehidupan sehari-hari mereka. Namun, agak jauh dari gambaran Geertz (1977) atau Castles (1982) tentang sikap hidup pengusaha santri yang hemat, kehidupan sehari-hari pengusaha batik Tasikmalaya pada masa itu hampir dekat dengan gaya hidup mewa yang agak berlebihan. Rumah-rumah bata dibangun dengan segenap perabotan lengkap berkualiatas tinggi. Mobil Opel, Fiat, atau Chevrolet keluaran terbaru dari dealer di Bandung dengan cepat mengisi garasi rumah mereka. Anak-anak mereka setiap sore nongkrong atau keliling kota dengan motor-motor jenis terbaru. Kemudian, seperti umumnya dalam budaya patriarkhi, anak laki-laki para pengusaha batik terkemuka pada masa itu mendapatkan dirinya dalam ‘rebutan’ para orang tua yang ingin menjodohkannya bagi anak-anak gadis mereka (wawancara, H. Endun AR, 30 Januari 2005).
Namun, masa kejayaan bukan berarti dilalui tanpa hambatan. Karena alasan yang sebagian besar bersifat politik, kebijakan pemerintah di tingkat nasional kadang tidak selamanya sama dengan kebijakan pemerintah di tingkat lokal. Pemerintahan daerah di banyak tempat, termasuk di Tasikmalaya, didominasi oleh pegawai yang kebanyakan adalah pendukung PNI. Bupati Tasikmalaya pada masa itu, R. Priatnakusuma, diketahui mendukung diam-diam berbagai usaha mobilisasi penduduk untuk mendukung PNI. Akibatnya bagi pengusaha muslim yang dekat dengan Masyumi jelas amat tidak menguntungkan. Seringkali mereka mendapatkan kesulitan ketika hendak mengurus sesuatu yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan. Untuk menyiasati keadaan yang tidak menguntungkan ini, banyak pengusaha muslim yang mengaku menjadi pendukung PNI, bahkan ada pula yang terlibat secara terpaksa dalam acara-acara yang diselenggarakan PNI. Misalnya, setiap minggu, sebuah bagian khusus agama di PNI mengadakan pengajian yang diberi nama Jama’ah Islamiyyah. Untuk mendekati pejabat-pejabat daerah, banyak pengusaha yang ikut dalam pengajian tersebut, sambil menunjukan dukungan tertentu terhadap PNI (wawancara, H. Endun AR, 30 Januari 2005).
Selain itu, sebagaimana kritik terhadap program Benteng secara umum, fasilitas dan lisensi yang diberikan kepada para pengusaha batik dalam kenyataannya banyak didapatkan dengan prkatik suap menyuap dan korupsi (Muhaimin, 1991: 155-164). Di Tasikmalaya, praktik semacam itu kerap terjadi. Sudah menjadi rahasia umum pada masa itu, seorang pengusaha batik yang ingin mendapatkan jatah lebih dari pembagian kain mori harus menyuap pejabat di dinas perindustrian kabupaten. Hampir 25 % dari seluruh biaya yang dikeluarkan seorang pengusaha batik untuk satu kali proses produksi dihabiskan untuk mengurus tambahan pembagian jatah kain mori di dinas perindustrian kabupaten. Dapat dibayangkan, kain mori memang dapat diperoleh dengan mudah, tetapi biaya produksi yang tidak efisien dan rasional membuat para pengusaha kehilangan kesempatan untuk meningkatkan tingkat produksinya. Pihak koperasi Mitra Batik yang menjadi penyalur pembagian kain mori tidak mempunyai kemampuan apapun untuk menghentikan praktik seperti ini, bahkan banyak pengurus yang justeru mendapatkan keuntungan tertentu dari hubungan diam-diam mereka dengan para pejabat terkait. Praktik seperti ini jelas merugikan pengusaha-pengusaha bermodal kecil atau yang tidak mempunyai jalur politik khusus terhadap pejabat (wawancara H. Endun AR, 31 Januari 2005).
Sementara itu, hampir sama dengan para pengusaha batik, para pengusaha kerajinan pada masa 1950-an mendapatkan diri mereka dalam masa kejayaan. Kelompok-kelompok koperasi berperan penting sebagai wadah konsolidasi bagi kepentingan ekonomi mereka. Hal yang paling dirasakan selama masa periode Benteng adalah mudahnya mendapatkan kredit dari perbankan dan tidak bertele-telenya pengurusan berbagai proses perizinan di jawatan perindustrian. Setiap koperasi baru yang didirkan mesti mendapatkan bantuan, sehingga seringkali kemudahan ini digunakan oleh beberapa orang untuk memperoleh keuntungan tertentu. Dilaporkan pada 1951 ada sebuah koperasi yang sebenarnya adalah perusahaan keluarga kakak beradik, lalu diberi nama koperasi agar dapat memperoleh kredit dengan mudah (Pikiran Rakyat [PR], 30 Agustus 1951) Namun, ada pula koperasi yang benar-benar berfungsi sebagaiamana harusnya sebuah koperasi. Koperasi Mitra Payung yang sudah berdiri sejak akhir 1930-an, pada masa ini masih menunjukan produktifitasnya yang tinggi. Pada 1951, pengusaha dan pengrajin payung yang tergabung dalam koperasi ini berjumlah 150 orang, dengan kapasitas produksi mencapai 700 kodi/bulan (PR, 7 Juni 1951) Pada 1955, jumlah pengusaha dan pengrajin yang tergabung meningkat menjadi 700 orang, dengan kapasitas produksi 4000/bulan (PR, 7 Januari 1955) Pada 1955 ini, para pengusaha dan perajin  Tasikmalaya yang kebanyakan tinggal di Panyingkiran dikunjungi oleh Presiden Soekarno dan hampir seluruh kepala negara dan kepala pemerintahan yang kebetulan sedang menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung (wawancara H. Suherman 22 Januari 2005).
Akan tetapi, berbagai kemudahan fasilitas dan lisensi yang didapatkan oleh pengusaha batik Tasikmalaya pada 1950-an tidak mampu menolong mereka ketika kekuasaan politik yang menaungi kemudahan itu jatuh. Keuntungan yang didapatkan selama masa tersebut sebagian besar dialokasikan ke dalam bentuk barang-barang konsumsi, tidak diinvestasikan menjadi modal produktif. Selain itu, pasar untuk produksi barang-barang industri pengusaha pribumi tampaknya sedang mengalami kejenuhan. Hal ini disebabkan oleh kondisi makro ekonomi Indonesia yang tidak kunjung mengalami pertumbuhan signifikan. Sejak pertengahan 1954, kebijakan pribumisasi lewat program Benteng ternyata berakibat pada inflasi yang serius. Berbagai kredit dan lisensi yang diberikan kepada para pengusaha pribumi lebih banyak dikendalikan oleh kontrol politik daripada kontrol ekonomi. Hal ini tentu saja mengakibatkan defisit anggaran belanja dan pengurasan cadangan devisa (Bulkin, 1984: 21).
Sementara itu, fasilitas dari pemerintah ternyata tidak mampu memandirikan koperasi. Hal ini terlihat dengan koperasi Mitra Batik. Organisasi ekonomi yang pada awal 1950-an diharapkan menjadi wadah para pengusaha untuk menkonsolidasikan kekuatan terutama ketika berkompetisi dengan pengusaha-pengusaha Cina, dalam kenyataannya hanyalah perkumpulan ‘klien’ dengan kekuasaan politik (Muhaimin, 1991: 155-164). Beberapa pengusaha yang bersikap kritis terhadap kepengurusan koperasi dipinggirkan, sementara yang pandai melobi pejabat hampir dipastikan mendapatkan posisi strategis dalam kepengurusan (wawancara H. Endun AR, 30 Januari 2005).
Setelah program Benteng dihentikan secara resmi pada 1957, perekonomian Indonesia kemudian memasuki masa Demokrasi Terpimpin. Beberapa kebijakan ekonomi dibuat selama masa ini. Di antara yang terpenting adalah Deklarasi Ekonomi (DEKON) yang diumumkan pada bulan Maret 1963. Akan tetapi, berbagai kebijakan itu pada kenyataannya tidak lebih dari ambivalensi dan frustrasi pemerintah, terutama Soekarno, yang pada masa itu benar-benar disibukkan dengan agenda propaganda politik. Khusus tentang posisi pengusaha pribumi, usaha negara untuk mendorong perkembangan mereka berakhir pada jargon-jargon ‘sosialisme a la Indonesia’ yang sulit sekali diterjemahkan ke dalam dunia ekonomi riil (Booth, 1998: 317-318). Selama peride ini, perekonomian Indonesia secara terus menerus mengalami kemunduran, untuk tidak mengatakan kejatuhan. Kondisi ini menjadi latar belakang yang memadai bagi timbulnya gejolak sosial dan politik yang semakin memuncak sampai pada pertengahan 1960-an.

Dilema Ketergantungan
Setelah melewati masa kekacauan politik berdarah yang dipicu oleh isu pemberontakan PKI, muncullah Orde Baru—sebuah bentuk negara yang oleh Anderson (2000: 240) dipandang sebagai pewaris paling sempurna dari beamtenstaat negara kolonial. Kebijakan ekonomi yang diterapkan Orde Baru pada dasarnya berpegang pada model pertumbuhan tanpa mempedulikan kalangan mana yang akan memacu pertumbuhan tersebut. Apalagi pada fase pertama yang berlangsung sekitar 1967-1973, kebijakan Orde Baru amat bersifat liberal, membuka pasar kepada investor asing, dan memberikan kredit bagi siapa saja yang mampu memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam UU Penanaman Modal (Robison, 1986: 130-147; Booth, 1998: 318-319). Apabila dipandang dari sisi pengusaha pribumi, kebijakan ekonomi dan politik Orde Baru tidak dapat diragukan lagi telah menghancurkan kekuatan kewirausahaan pribumi yang telah coba dibangkitkan pada masa-masa sebelumnya, meski pada masa sebelumnya pun tidak pernah mencapai hasil yang diharapkan (Anderson, 2000: 246). Bahkan, ketika semangat ‘nasionalisme ekonomi’ muncul kembali pada 1974, tepatnya pasca peristiwa Malari, Orde Baru tidak pernah berhasil membangkitkan kembali kalangan pengusaha pribumi dari kemunduran yang sudah berlangsung selama setengah dekade sebelumnya.
Kebijakan ekonomi yang langsung berkait dengan keberadaan dan perkembangan pengusaha pribumi adalah Undang-Undang No. 6 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) yang dikeluarkan pada tanggal 3 Juli 1968. Secara garis besar, undang-undang ini memberikan hak-hak istimewa bagi perusahaan-perusahaan modal baru dan perusahaan yang dapat memenuhi syarat kelayakan proyek, serta memiliki kekayaan yang cukup untuk kelayakan modal. Hak-hak istimewa yang dimaksud menyangkut pembebasan pajak dan tax holidays. Perusahaan-perusahaan yang ingin menanamkan modal dalam rangka PMDN diharuskan mendepositokan jaminan sebesar 25 % dari modal yang ingin ditanamkan di bank-bank negara, sementara bagi sektor-sektor non prioritas, jaminan yang harus didepositokan sebesar 50 % (Muhaimin, 1991: 61).
Pada tingkat perusahaan lokal di daerah, pengaruh UU PMDN cukup besar. Koperasi Mitra Batik Tasikmalaya yang sejak akhir 1960-an telah membuka perusahaan tenun sendiri menghadapi kesulitan besar untuk masuk dalam skema UU PMDN ini. Syarat-syarat jaminan sebesar 25 % yang harus didepositokan di bank-bank negara terasa amat memberatkan. Sementara itu, patron-patron mereka di GKBI sudah kehilangan kekuasaan lagi untuk melakukan lobi-lobi politik, atau sekedar memberikan jaminan bagi perbankan atas kapasitas koperasi yang bersangkutan. Meski akhirnya syarat tersebut dapat dipenuhi, kenyataannya hasil yang didapatkan dari skema UU PMDN jauh dari harapan (wawancara H. Endun AR, 31 Januari 2005).


Selain alasan di atas, kemunduran pengusaha batik pada awal 1970-an sering disebut-sebut akibat muncul dan berkembangnya batik jenis printing. Alasan seperti ini jelas membuktikan kegagalan pengusaha batik yang masih mengandalkan jenis batik tulis dan cap untuk memekanisasi teknologi produksinya. Beberapa pengusaha batik di Tasikmalaya mengeluhkan semakin berkembangnya batik printing, sementara mereka pada waktu itu sudah tidak lagi mempunyai modal cukup untuk memekanisasi teknologi batiknya. Apalagi setelah kredit dari perbankan dan dinas-dinas pemerintah semakin sulit didapat, harapan pengusaha batik untuk melanjutkan usahanya semakin ciut saja.
Akibatnya, banyak pengusaha batik yang kemudian melakukan alih usaha ke sektor lain. Untuk sebagian, alih usaha ini dapat dipahami sebagai tanggapan rasional pengusaha terhadap perubahan struktur ekonomi yang ada, namun untuk sebagian yang lain perkembangan baru ini hanyalah kelanjutan dari model hubungan diam-diam antara pengusaha dan penguasa politik sebagaimana sering berlangsung pada masa-masa sebelumnya. Di beberapa kota ‘santri’ di Jawa, perkembangan yang sebenarnya sudah dimulai sejak awal 1960-an ini memang menunjukan independensi pengusaha pribumi dari kekuasaan politik yang ada, selain ada pula yang muncul sebagai akibat ketiadaan kompetisi dengan orang-orang Cina (Muhaimin, 1984).
Pada awal 1970-an, beberapa pengusaha batik Tasikmalaya yang telah mengalami kemunduran segera saja memutar haluan menjadi pemborong atau kontraktor berbagai proyek pembangunan fisik yang sedang menjamur pada masa itu. Akan tetapi, lagi-lagi, alih usaha mereka menjadi pemborong atau kontraktor lebih banyak disebabkan oleh lobi-lobi mereka dengan pejabat-pejabat terkait (wawancara H. Endun AR, 30 Januari 2005). Keberhasilan mereka beradaptasi dengan kekuasaan politik baru memang patut diacungi jempol, tetapi masalahnya mereka tidak memiliki dasar-dasar yang cukup kuat bagi pengembangan usaha lebih lanjut.
Di antara para pemborong atau kontraktor ada yang berhasil menginvestasikan akumulasi modalnya ke dalam bentuk usaha perhotelan. Perkembangan baru ini terutama berlangsung sejak pertengahan kedua 1970-an. Hampir semua hotel di wilayah yang sekarang disebut Jalan Mitra Batik dan Jalan R. E. Martadinata adalah milik pengusaha santri yang dulunya bergerak di sektor usaha batik. Beberapa yang paling besar adalah Hotel Mandalawangi milik H. Dartiman, Hotel Widuri milik H. Memed, dan Hotel Crown milik H. Adang Kamil. Selain itu, ada yang melakukan alih usaha ke bidang jasa, transportasi, catering, atau perdagangan umum (wawancara H. Endun AR, 30 Januari 2005).
Keadaan yang lebih parah mendera para pengusaha kerajinan. Setelah menikmati masa kejayaan yang sebentar pada 1950-an, masa-masa berikutnya dilalui dengan wajah muram. Modernisasi gaya hidup yang meluas sejak masa Orde Baru membuat barang-barang kerajinan menjadi sekedar barang antik untuk kepentingan pariwisata, itu pun dengan jumlah produksi dan distribusi yang terbatas. Payung geulis Tasikmalaya pada 1950-an masih dipakai untuk kebutuhan fungsional sehari-hari, untuk melindungi hujan dan panas matahari. Setelah 1970-an, bahkan beberapa tahun sebelum itu, terutama sejak meluasnya pemakaian jenis payung dari bahan plastik yang lebih praktis dan murah, payung geulis hanya dipakai untuk acara-acara pernikahan dan kematian.
Akibat dari kemunduran ini, banyak pengusaha dan perajin yang alih usaha ke sektor lain. Tetapi berbeda dengan pengusaha batik yang mempunyai modal dan jaringan lebih luas, pengusaha kerajinan hanya berhasil alih profesi menjadi pekerja serabutan. Setelah 1970-an, di  Tasikmalaya hampir tidak ditemukan lagi komunitas pengusaha kerajinan yang besar. Dalam satu kampung, paling hanya ada satu atau dua pengusaha yang masih bertahan (wawancara H. Suherman, 22 Januari 2005).

Kesimpulan
Tulisan ini akhirnya berkesimpulan, bahwa pasang-surut komunitas pengusaha santri di Tasikmalaya selama 1930-1980-an amat terkait dengan konteks struktural yang mewadahi perjalanan historis mereka. Negara kolonial dan pasca-kolonial secara sinambung telah memperlihatkan pengaruhnya, disamping kekuatan pasar yang hampir tidak mungkin terhindarkan dalam setiap pembicaraan sejarah ekonomi. Akan tetapi, dua faktor ini, negara dan pasar, bukanlah dua entitas yang saling berseberangan satu dengan yang lainnya. Kenyataannya, relasi antara negara dan pasar berlangsung sedemikian kuatnya, meski tentu saja tidak selamanya menjadi faktor yang berdampak memajukan bagi perkembangan ekonomi komunitas pengusaha santri di Tasikmalaya. Di luar itu, pengusaha santri adalah komunitas ekonomi yang mempunyai dinamika internalnya sendiri, sehingga menghasilkan mekanisme agar mereka tetap dapat menanggapi perubahan ekonomi dan politik dengan cara-cara yang juga bersifat ekonomis dan sekaligus politis.
Oleh karena itu, dipahami pula posisi mereka yang sampai pada tingkat tertentu mempunyai derajat ketergantungan tinggi terhadap negara dan tentu saja siklus pasar. Hal ini akhirnya menjadi dilema bagi kelanjutan tingkat ekonomi mereka. Dalam hal ini, arti negara Indonesia pasca-kolonial dalam konteks isu dekolonisasi ekonomi tampaknya harus dipahami sebagai keberlanjutan dari negara kolonial. Paling tidak, terdapat pola-pola yang hampir sama dalam hal  bagaimana negara mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mendukung muncul dan berkembangnya kelas pengusaha pribumi yang mandiri. Pertimbangan-pertimbangan politik tampaknya terlalu mendominasi konfigurasi kebijakan, sementara pertimbangan-pertimbngan ekonomi hanya berlaku di atas kertas saja. Dalam segala keruwetan struktural ini, pengusaha santri di Tasikmalaya selama periode 1930-1980-an tetap berusaha menanggapi perubahan dengan cara yang jauh dari mitos pribumi malas. Meskipun pada akhirnya mereka harus menyimpan arti keberhasilan sebagai cita-cita yang terus dikerjakan sampai sekarang, sejarah bagaimanapun harus memberi arti bagi keberadaan mereka. []

Daftar Pustaka

Buku, Artikel, dan Koran

Anderson, Benedict R. O’G., “Negara Lama, Masyarakat Baru: Orde Baru Indonesia dalam Pembandingan Perspektif Kesejarahan”, Kuasa Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik diIndonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000.
Bambang Purwanto, “Merajut Jaringan di Tengah Perubahan: Komunitas Ekonomi Muslim di Indonesia Pada Masa Kolonial”, Lembaran Sejarah, Vol. 2, No. 2, 2000.
Booth, Anne, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities, London: Macmillan, 1998.
Burger, D.H., Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Jilid kedua, Jakarta: Pradnja Paramita, 1970.
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
Dick, Howard, “Formation of Nation-State, 1930s-1966” dalam Howard Dick, Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, dan The Kian Wie, The Emergence of A National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000, Sydney: ASSA Southeast Asia Publications Series, 2002.
Djie, Liem Twan, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa: Suatu Studi Ekonomi, Jakarta: Gramedia, 1995.
Farchan Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah, dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian”, Prisma 2, Februari 1984.
Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, cetakan kedua, Ithaca: Cornel University Press, 1964.
Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, London: Cambridge University Press, 1944.
Ietje Marlina, “Peranan R. A. A. Wiratanuningrat sebagai Bupati Pembangunan Tasikmalaya Abad Ke-19” dalam Viviane Sukanda-Tessier (ed.), Proseedings  Seminar Sejarah dan Budaya II tentang Galuh, Tasikmalaya: UNSIL, Pemda Jawa Barat, Puslit Arkeologi Nasional, Ecole Francaise D’Extreme-Orient, 1990.
Ingleson, John, “Urban Java during the Depression”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. XIX, No. 2, September 1988.
Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj. Nin Bakdi Soemanto, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan UNS Press, 1995.
Kawamura, Chiyo Inui, Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman, Yogyakarta, 1950-1990-an, tesis S-2, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2004.
Kurosawa, Kurosawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, Jakarta: Gramedia, 1993.
Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No. 8, Memori Serah Jabatan 1921-1930 Jawa Barat, Jakarta: Arsip Nasional RI, 1976.
Pikiran Rakyat, 30 Agustus 1951.
Pikiran Rakyat, 7 Juni 1951.
Pikiran Rakyat, 7 Januari 1955
Robison, Richard,  Indonesia: The Rise of Capital, Sydney: Allen & Unwin, 1986
Svensson, Thommy, “Peasant and Politics in Early Twentieth-Century West Java”, Studies on Asian Topics No. 5 Indonesia and Malaysia: Scandinavian Studies in Contemporary Society, London dan Malmo: Curzon Press, 1983.
Soeri Soeroto, “Sejarah Kerajinan di Indonesia”, Prisma 8, Agustus 1983.
Tim Penerbitan Buku Dokumenter, Setengah Abad Koperasi Mitra Batik 1939-17 Januari-1989, Tasikmalaya: Koperasi Mitra Batik, 1989.
Yahya Muhaimin, “Politik, Pengusaha Nasional, dan Kelas Menengah Nasional”, Prisma 3, Maret 1984.
Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta: LP3ES, 1991
Wertheim, W. F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Sumber Lisan

Wawancara dengan H. Endun AR, 73 tahun, pengusaha batik dan aktifis Muhammadiyah, pada 29 dan 30 Januari 2005 di Jl. Ampera, Tasikmalaya.
Wawancara dengan H. Khalid Servia, 60 tahun, pengusaha kain, pada 6 dan 24 Januari 2005, di Jl. Yudanegara, Gunung Singa, Tasikmalaya.
Wawancara dengan H. Suherman, 75 tahun, pengusaha kerajinan dan aktifis Nahdlatul Ulama (NU), pada 19 Desember 2004 dan 22 Januari 2005, di Jl. R.E.Martadinata, Panyingkiran, Tasikmalaya.

9 Responses to “Perkembangan Ekonomi Pengusaha Santri di Tasikmalaya,1930-1980-an”

  1. asrofi Says:

    sungguh menarik ulasannya. bagaimana jika analisisnya dilanjutkan ke periode selanjutnya??

    matur thank you 😉

  2. andri Says:

    Assalamu’alaikum. Wah luar biasa ni.. menarik. masih ada continue nya kan ? jiwa muslim yg mandiri mesti diimbangi dengan nuansa perbankan yg islami, lembaga keuangan syariah yg sekarang bertebaran. Untuk itu perlu diulas dan disadarkan akan manfaat finance dan insurance syariah. Agar semuanya terproteksi dengan lebih baik. Khusus insurance syariah kita bisa share informasi.

    Kita tunggu. Terimakasih.

  3. alida Says:

    ass. wr. wb ..

    ulasan yg disajikan sangat bagus dan sebaiknya penelitian ini tidak berhenti sampai disini, dilanjutkan dengan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat agar kebudayaan di tasik tidak semakin senja.

    tur nuhun…

    wass.
    alida


  4. Sebagai salah satu anggota keluarga yang dibesarkan di lingkungan koperasi dan industri tekstil dan batik, saya sangat tertarik dengan tulisan anda.

    Regards,
    Imat Badruddin

  5. doni 'donat' ganbatte Says:

    aslam,

    tulisan yang bagus, jarang yang menulis tentang sejarah lokal bukan!!!???

    wasalam…

    Doni

  6. Abahsenang Says:

    tulisan yang anda susun sungguh luar biasa, qta tahu kerja seperti apa, tapi kalau mau dilanjutkan lagi akan lebih bermanfaat ‘tuk masyarakat umum, indikasi indikasi ketidakberesan oleh generasi 90’an sudah mengarah kepada situasi yang akan mencengangkan. dan secara sistematis. terima kasih

  7. Abahsenang Says:

    kalau dicermati lebih lanjut, akan ada pertanyaan, milik siapa koperasi ? tujuan utama koperasi ? siapa pembina & pembimbing koperasi ? mudah-mudahan jadi bahan pertimbangan. terima kasih.

  8. Didit Pradito Says:

    Tulisannya bagus sekali…

    Jika demikian adanya…,maka dapat juga disimpulkan ttg karakteristik budaya ekonomi yang tumbuh kembang di Tasikmalaya (maupun secara umum di Indonesia) masih dikungkung oleh hegemoni pemikiran-pemikiran (intrik) dan kebijakan politik yang belum prima (untuk tidak dikatakan dangkal: korupsi,kolusi,dan nepotisme). Agaknya kita (masyarakat Indonesia) perlu meningkatkan (belajar) taraf kearifan kewirausahaan/kewiraswastaan dalam berusaha agar dapat memilah dan memilih tentang pengembangan ‘produk’ usaha yang berorientasi pada nilai-nilai hakiki dari kelengkapan model filosofis sampai dengan pragmatis, hingga tidak terjebak terus dalam siklus kemiskinan mentalitas.

    Sekarang sy sedang mencoba mendirikan kumpulan eksplorasi kreatif di bdg yang secara rutin 2 x dalam setiap minggu (br berjalan 6 bulan. Kegiatannya adalah mengeskplorasi ruang (seni) rupa melalui eksperimen-eksperimen kreatif ragam teknik ‘Craft’ seperti ‘ikat-celup’, anyaman, keramik, batik…

    Jangka pendeknya adalah mencoba meyakinkan para anggota bahwa mereka mampu membuat ‘karya’ yang baik dan laku dijual; mengikis muatan’konsumerisme’ yang kadung telah menjadi gaya hidup; meningkatkan keahlian teknis yang dapat menopang kemandirian ekonomi.

    jangka menengah adalah terbentuknya komunitas baru yang dapat turut serta menguatkan komunitas ekonomi kreatif yang telah ada.

    jangka panjangnya adalah terbangunnya jaringan pelaku ekonomi yang mandiri dan memiliki akar keterdidikan mentalitas yang prima.

    Sampai saat ini ada sekitar 14 org yang aktif dari 33 yang menyatakan diri menjadi anggota kumpulan.

    Sudah mulai banyak yg ingin memanfaatkan (traffikers) maupun mencoba membubarkan/menghalangi kegiatan kumpulan ini

    untuk itu dengan para anggota & pengurus sedang mencoba meresmikannya ke notaris, …sementara disepakati bentuknya koperasi. Tapi membaca tulisan dari mas itu mungkin perlu pertimbangan lebih lenjut lagi aspek-aspeknya…

    mohon saran kritisnya mas…

    trims
    Wass
    didit


Tinggalkan Balasan ke Imat Badruddin Batalkan balasan