Peradaban di Tubir Jurang

Minggu, 7 Januari 2007

Oleh: Bosman Batubara (Geologist, anggota Forum Lafadl)

“Science has eliminated distance,” kata Melquiades, “In a short time, man will be able to see what is happening in any place in the world without leaving his own house,” lanjutnya. Benar kiranya apa yang dikatakan oleh sang Gypsi Melquiades tersebut: bahwa sains telah mengeliminasi jarak. Dan kita tahu bahwa jarak sendiri adalah muasal dari ruang.
Dewasa ini kita hidup dengan hadirnya entitas ruang yang baru. Dikatakan baru, karena ruang yang hadir tersebut telah melibas semua prasyarat-prasyarat ruang konvensional. Ia hadir dalam bentuk maya. Tanpa koordinat X, Y, dan elevasi. Sebuah ruang—dan juga waktu—yang termampatkan. Dengan presisi yang sangat akurat Teori Kenisbian Einstein telah mengejahwantah di antara kita. Bahwa ruang—dan juga waktu—adalah entitas yang  nisbi, dan dapat membentuk koontium baru dalam satuan ruang-waktu. Dengan demikian ia menjadi godam bagi konsep sebelumnya yang dipaparkan oleh Newton bahwa ruang dan waktu adalah entitas yang anta.

Peristiwa beberapa hari yang lalu membuat saya mau tak mau mengingat kembali semua hal di atas. Ketika dalam suatu bangun pagi yang agak kesiangan, saya dikejutkan oleh kedatangan seorang teman yang tampak sangat terpukul, wajahnya kelihatan sangat lelah dan lebih tua dari biasanya: “e-mail tak dapat dibuka. Ada gempa di Taiwan, internet rusak,” demikian penjelasannya. Dalam perbincangan berikutnya yang lebih tenang, dan setelah membaca Koran, saya dapat mulai mengerti peta persoalannya. Bahwa gempa bumi berkekuatan 7.2 pada skala Richter di Taiwan telah menyebabkan putusnya beberapa serat optika bawah laut yang merupakan nadi komunikasi yang menghubungkan China, Jepang, Korea Selatan, negara-negara Asia Tenggara, dan Amerika Serikat, (KOMPAS, 29/12/06, hlm. 9).
Belum diketahui dengan jelas berapa total kerugian yang terjadi di seluruh dunia akibat putusnya serat optika bawah laut tersebut. Tetapi, secara kasar dapat diprediksikan bahwa banyak sektor bisnis dan jasa yang terkena dampaknya. Mulai dari yang paling dekat: bisnis warung internet. Contoh kecil, di Bali penurunan pemasukan sebesar 90 %, di Yogyakarta omzet pengusaha warnet turun mencapai angkai 70%. Sektor lain yang menggantungkan nasibnya kepada internet sebagai alat komunikasinya juga tak luput terkena dampak. Ada eksportir mebel yang kesulitan menghubungi kliennya di luar negeri, reservasi hotel on-line di Bali yang menurun, bahkan kandas di titik nadir: angka nol, para pegiat NGO’s di Yogyakarta yang tak dapat mengirimkan laporannya, dan seterusnya. Dapat dipastikan hampir semua lapisan masyarakat urban terkena dampak langsung putusnya serat optika bawah laut tersebut.


Dalam lansekap yang lebih terbentang, putusnya kabel bawah laut ini sebenarnya dapat dilihat sebagai fenomena bagaimana manusia menghadapi ‘ganasnya’ alam. Manusia, di satu sisi, mengkreasi teknologi sedemikian rupa sebagai perpanjangan nalar dan tangannya untuk kepentingannya. Alam, sementara itu, memiliki siklus yang harus dijalaninya sebagai konsekwensi dari beberapa hukum kekekalan yang berlaku. Perlu diketahui, bahwa pada hakikinya gempa bumi di Taiwan adalah implikasi terjadinya penunjaman Kerak Samudra (oceanic crust) Pasifik yang bergerak realtif ke barat, ke bawah Kerak Benua (continental crust) Eurasia yang bergerak relatif ke timur di zona tersebut. Dari spketrum geologi, peristiwa penunjaman (subduction), pemekaran (spreading), dan patahan (fault), pada kerak bumi adalah implikasi dari penyaluran energi, dan materi. Artinya semua itu merupakan konsekwensi dari adanya hukum kekekalan energi dan kekekalan materi.
Dengan sudut pandang yang begitu, maka tak salah kalau kalau kita katakan bahwa bencana alam yang menyebabkan putusnya serat optika bawah laut tersebut adalah sesuatu yang biasa, dan secara sains memang sudah diprediksikan bakal terjadi.  Dan dengan demikian—seharusnya—sudah disiapkan pula penangkalnya. Tetapi kenyataan berbicara lain. Mungkin ketika menanam serat optika tersebut di bawah laut semua manusia masih menderita myopia terhadap waktu, sehingga dampak pergerakan lempeng bumi tersebut luput diantisipasi. Begitu serat optika putus, maka kekacau-balauanlah yang terjadi. Setidaknya itu menandakan bawah peradaban kita yang sudah terlanjur bersendikan—salah satunya—pada teknologi informasi dan komunikasi, sangatlah rentan terhadap ‘keganasan’ alam.


Dalam kemelut peradaban, sebenarnya kita dapat menemukan pelbagai referensi bahwa peradaban sepertinya selalu berjalan di jembatan yang kecil, tipis, dan selalu saja pada posisi kritis: terancam untuk jatuh ke jurang yang menganga di kanan-kirinya. Katastrofi pada zaman Noah memusnahkan semua pembangkang. Dari Camus kita tahu bahwa sampar merenggut nyawa tanpa kecuali. Atau musibah cacar yang menimpa pedalaman Jawa yang, bagi Pram hanya menyisakan Surati. Letusan Gunung Krakatau memutus mata rantai generasi, dan seterusnya.
Mencermati kedinamisan alam yang terjadi, membuat saya berfikir bahwa sebenarnya konsepsi ruang-waktu yang nisbi dari Einstein sendiri belumlah sesuatu yang final. Sama saja dengan yang lain: sesuatu yang sedang menjadi. Dan karenanya sangat mungkin—untuk tidak menuliskan wajib—berubah. Oleh karenanya jangan heran kalau dalam beberapa waktu ke depan terjadi revolusi yang lebih radikal lagi, mungkin bukan hanya di wilayah sains dan teknologi an sich, tetapi juga sampai ke bagaimana anda makan, tidur, mencinta, dan bahkan bersenggama. Atau jangan-jangan memang peradaban ini hanya seperti kisah Macondo, Kota di tepi rawa dalam One Hundred Years of Solitude karangan Gabriel Garcia Marquez itu: ‘segera hancur begitu perkamen-perkamen Melquiades selesai dipahami oleh Aureliano.’

3 Responses to “Peradaban di Tubir Jurang”

  1. Kang Adhi Says:

    Menarik! Bos, bahas juga dong, global warming.. ada efeknya tidak dengan teknologi informasi, atau sebaliknya. ditunggu!

  2. bb Says:

    wah mesti sianu lagi donk gue?


Tinggalkan Balasan ke Kang Adhi Batalkan balasan