Orang-orang Melarat di Paris dan London

Senin, 6 November 2006

Oleh: Heru Prasetia (Anggota Tim Kerja Lafadl)

Ini adalah buku pertama George Orwell. Sebuah buku cerita yang bersifat sangat otobiografis, lebih mendekati catatan harian ketimbang sebuah novel kendati banyak pula fiksi di dalamnya. Karya pertama Orwell ini ditolak oleh sejumlah penerbit, termasuk editor—sekaligus penulis—ternama, TS Elliot dari penerbit Faber&Faber. Barangkali karena gambaran mengenai kehidupan jalanan yang diceritakannya terlalu tidak nyaman untuk dibaca. Karena alasan komersial, buku yang tidak membuat nyaman pembacanya memang selalu dihindari oleh banyak penerbit. Realitas kemiskinan yang terlalu pedih tentu tidak akan membuat nyaman pembaca yang kebanyakan adalah kalangan kelas menengah ke atas. Naskah Orwell ini berdasar pada pengalamannya hidup sebagai seniman bohemian di Paris dan London. Kehidupan gelandangan yang dijalaninya menginspirasinya untuk menulis naskah yang berjudul “Down and Out in Paris and London” ini. Akhirnya, setelah ditolak di mana-mana, naskahnya ini diterima dengan tidak antusias oleh Victor Gallanz yang lantas menerbitkannya. Pada buku pertamanya inilah nama pena George Orwell diperkenalkan ke publik. Pada mulanya nama pena ini ia gunakan agar orang tuanya tidak shock jika tahu kehidupannya di Paris dan London. Namun sejak itu pula nama pena ini selalu dipakainya meski ia tak pernah mengubah namanya secara resmi.

Judul : Melarat

Judul Asli : Down and Out in Paris and London

Penulis : George Orwell

Penerbit : Lafadl Pustaka

Orwell sendiri terlahir bernama Eric Arthur Blair di Montihari Bengal India pada 25 Juni 1903. Orang tuanya adalah pegawai negeri sipil Inggris dan termasuk bagian dari apa yang ia sebut “kelas menengah atas yang paling bawah”. Pada 1905 ia pulang ke Inggris bersama ibunya lalu masuk ke sekolah dasar yang mewah, St Cyprian. Di sini ia mulai menyadari pembedaan kelas. Ia selalu dihina dan dipandang sebelah mata karena tidak datang dari keluarga kaya. Setelah itu ia melanjutkan studi ke sekolah Eton yang sangat ternama itu. Namun ia menolak untuk melanjutkan studinya ke Oxford atau Cambridge tapi malah masuk ke Kepolisian Imperial India di Burma, sebuah sikap yang oleh banyak pengamat disebut sebagai sikap pemberontak Orwell yang akan menjiwai karya-karyanya nanti. Di dinas kepolisian, sebagai seorang polisi yang dibenci masyarakat, kesadaran kelasnya semakin menguat. Muak pada perannya sebagai bagian dari sekrup imperialis, ia memutuskan untuk keluar dari dinas kepolisian. Setelah keluar dari dinas, ia pulang ke Inggris tahun 1927 dan menyatakan ingin menjadi penulis pada orang tuanya. Ia kemudian hidup sebagai seniman bohemian di Paris selama beberapa bulan hingga melahirkan karya pertamanya ini.

Kendati tidak sukses secara komersial, buku pertama Orwell ini mendapatkan banyak pujian dari para kritikus sastra. Ini adalah sebuah prestasi besar untuk seorang penulis tak dikenal semacam dirinya pada waktu itu. Meski tak banyak mendapat uang dari buku pertamanya ini ia tidak menyerah dan terus hidup sebagai penulis. Selanjutnya ia melahirkan karya yang sukses secara komersial. Karyanya yang sukses di pasaran adalah Coming Up for Air (1939). Kemudian Animal Farm (1945) dan 1984 (1949) mengangkat namanya ke jajaran penulis terkemuka pada zaman itu. Buku Animal Farm sendiri pada mulanya ditolak oleh penerbit-penerbit Inggris dan Amerika yang mengkuatirkan dampak dari mempromosikan karya yang kritis terhadap Revolusi Rusia, sebuah negara sekutu Inggris dan AS saat itu. Kegigihan Orwell sebagai seorang penulis –dan sebagai seorang manusia—juga tergambar di buku Down and Out in Paris and London yang dalam edisi Indonesia kami translasikan menjadi berjudul Melarat ini. Cara ia mengatasi kesulitan dan bagaimana ia menertawakan kepahitan hidupnya sendiri paling tidak telah memberi gambaran tentang bagaimana Orwell memandang hidup.

Nuansa tulisan yang sangat otobiografis juga telah membuat buku pertamanya ini menjadi sangat menarik. Peristiwa dan situasi yang ia lukiskan menjadi sangat hidup. Kepahitan dan kegetiran yang ia ceritakan menjadi begitu nyata. Segala sesuatunya mengemuka sebagai sebuah pengalaman yang otentik.kendati banyak bercerita tentang kegetiran hidup melarat, namun Orwell mampu menceritakannya dengan penuh humor tanpa ada nuansa putus asa atau nada mengasihani diri sendiri. Di Paris, Orwell atau tokoh aku di buku ini, tinggal di kamar-kamar penuh kutu dan hidup dengan mencuci piring di dapur hotel. Tokoh aku banyak bertemu dengan karakter-karakter eksentrik yang menjalani kehdiupan serupa. “Orang-orang yang telah jatuh ke lorong hidup yang sunyi dan kelam, serta sudah tak mau lagi untuk mencoba hidup normal. Kemiskinan membebaskan mereka dari standar tingkah laku normal, sebagaimana uang telah membebaskan orang dari pekerjaan”, begitu tulis Orwell. Realitas kemiskinan Paris selain melahirkan kepahitan hidup, penuh dengan cerita gila dan pengalaman-pengalaman hidup yang menggairahkan. Sementara di Inggris, Orwell hidup dari satu rumah singgah ke rumah singgah lain yang masing-masing punya cerita khas yang tak diduga-duga. Di kalangan para gelandangan ini pulalah ia mulai mengenal bahasa slang yang hanya bisa dimengerti oleh kalangan mereka sendiri. Barangkali ini yang lantas memberinya inspirasi tentang Newspeak, sebuah bahasa yang ada di novel 1984 yang terkenal itu. Pengalaman hidup menggelandang ini pulalah yang membuatnya bisa melukiskan dengan sangat baik kepahitan hidup kaum proletar di novel yang sama.

Oleh sejumlah kalangan, termasuk amazon.com, buku ini disebut-sebut memuat sejumlah indikasi Anti-semitisme. Saya sendiri ketika membaca—dan juga mengedit terjemahan— buku ini, tidak menangkap kesan anti-semitis itu. Tentu saja ini karena saya tidak terlalu “peka” dengan urusan ati semit atau tidak sebagaimana sensitifnya masyarakat Eropa. Kita tahu, bangsa Eropa –dan juga Amerika, barangkali—sangat risih dengan berbagai hal yang bersifat anti semit. Atau lebih tepatnya barangkali adalah anti-yahudi. Sejauh yang saya tahu bangsa semit tidak selalu bangsa yahudi, tapi entah kenapa setiap kata anti semit muncul maka selalu terasosiasi dengan soal-soal keencian terhadap yahudi. Untuk soal kebencian semacam ini, bangsa Eropa—dan juga Amerika—memang selalu punya standard yang wagu—kata orang jawa. Di satu sisi kebencian terhadap yahudi selalu membuat mereka risih namun di sisi lain, sikap memusuhi terhadap ras lain seperti Arab dan kulit hitam seolah seperti dirayakan. Tak perlu diperpanjang dan dijelaskan lagi, anda tentu sudah mafhum hal-ihwal semacam ini. Mengenai buku ini yang disebut “dibuat cacat” oleh sejumlah indikasi anti-semitisme, sekali lagi ternyata juga soal yahudi. Selain sejumlah umpatan kasar terhadap bangsa yahudi, di buku ini setidaknya ada tiga karakter yahudi yang diceritakan. Memang, ketiga-tiganya disajikan Orwell sebagai karakter yang busuk dan culas. Pertama, seorang penjaga toko barang yang luar biasa ngeyel, yang menatap pelanggannya dengan tatapan memusuhi serta hanya mau membeli barang dengan harga yang sangat murah. Orwell menutup gambaran tentang orang ini dengan frasa ”Akan sangat menyenangkan memukul hidung si yahudi itu. Jika mampu.” Kedua, adalah seorang yahudi yang menjadi teman kamar seorang kawan bernama Boris.Si yahudi ini punya utang pada Boris namun lambat laun tak mau lagi membayar cicilan utang dan malah bertingkah seperti majikan serta malah membawa lari uang Boris. Boris sendiri adalah seorang Rusia yang sangat membenci bangsa Yahudi. Melalui Boris ada cerita tentang orang yahudi berikut ini ‘Aku akan ceritakan seperti apa orang-orang Yahudi itu. Pernah pada suatu ketika, di bulan-bulan awal peperangan, kami dalam perjalanan konvoi, dan kami berhenti di suatu desa untuk bermalam. Seorang Yahudi tua, dengan jenggot merah seperti Judas Iscariot, menyelinap ke tendaku. Aku tanya apa yang diinginkannya. ”Yang mulia,” dia berkata, ”Saya bawakan seorang gadis untuk Anda, seorang gadis cantik baru berumur tujuh belas tahun.Cuma lima puluh franc.” ”Terima kasih,” jawabku, ”silahkan bawa pergi lagi . Aku tidak ingin kena penyakit.” ”Penyakit!” seru si Yahudi, ‘ah, Tuan Kapten, jangan takutkan itu. Dia anak perempuanku sendiri!” Itulah karakter bangsa Yahudi. Ditambah lagi kata-kata ini:‘Pernahkah aku bilang padamu bahwa di masa lalu, dalam Angkatan Perang Rusia ada anggapan bahwa meludahi seorang Yahudi adalah hal buruk? Ya, sebab menurut kami, ludah seorang prajurit Rusia terlalu berharga untuk ditumpahkan pada seorang Yahudi….’ Ketiga, adalah seorang yahudi yang menipu seorang tua dengan bedak yang ia katakan sebagai kokain. Gara-gara polah yahudi itu, si tua harus kehilangan uang enam ribu franc dan berurusan dengan polisi setempat.

Demikianlah, nyaris seluruh karakter yahudi yang ada di buku ini adalah karakter jahat. Tentu orang bisa mengatakan bahwa Orwell punya seterotipe tertentu tentang bangsa yahudi, namun tentu hal ini masih jadi pertanyaan. Sebab tak selamanya karakter buruk dari seseorang atau sebuah komunitas dalam sebuah cerita tidak harus selalu menyiratkan sikap penulis tentang orang atau komunitas tersebut. Bisa saja Orwell sedang hendak menyampaikan semangat zaman bangsa Eropa waktu itu yang banyak dilingkupi sikpa permusuhan terhadap bangsa yahudi. Sebenarnya buku ini tidak hanya mengungkapkan sindiran pada bangsa yahudi, namun juga pada bangsa perancis, yunani, dan armenia. Pendeknya, orwell punya upaya untuk bermain-main yang menuntut kedewasaan dan kelapangan dada, termasuk selera humor.

Lepas dari itu semua, karya Orwell ini tetap banyak dipuji para kritikus sastra karena mampu menyuguhkan gambaran dunia orang melarat di Paris dan London secara meyakinkan. Moral dari cerita di buku ini barangkali adalah bahwa kemiskinan tidak selalu berarti kiamat. Selalu ada jalan berkelit dari situasi sulit. Bahkan ada humor, ada keceriaan, dan kehangatan dalam keterpurukan dunia para gelandangan di dua kota besar tersebut. Narator di buku ini, tokoh aku, tak pernah menyebut namanya. Aku dalam buku ini bisa jadi adalah kita, pembaca, yang bisa jadi pula mengalami situasi-situasi buruk. Kendati bercerita tentang kisah-kisah kecil kehidupan kaum pinggiran, tidak berarti buku ini tak bisa memberi gambaran tentang dunia yang lebih luas. Justru dengan deskripsi yang detil dan kaya tadi buku ini mampu memberi wawasan tentang bagaimana dunia bekerja menciptakan kemiskinan. Karena itulah Lafadl merasa perlu menerbitkan buku ini untuk khalayak Indonesia. Bukankah tak ada yang lebih menyenangkan penerbit selain menghadirkan kekayaan dan kedalaman ilmu sebuah buku kepada khalayaknya?

 

3 Responses to “Orang-orang Melarat di Paris dan London”

  1. khoiron Says:

    Wah tulisan Heru menguasai ruang blog ini. Pertanda Heru secara intelektual lebih superior atau gimana ini? Yang lain, lagi malas nulis atau gak mau ditempatkan dalam satu ruang dengan tulisan Heru? (hehe). Khusus untuk buku Orwell, aku agak menyayangkan buku ini tidak di “down to earth”-kan ke Indonesia
    Misalnya dibungkus melalui kata pengantar tokoh yang concern dengan soal kemiskinan di Indonesia. Bagaimanapun, pembaca Indonesia pasti sedikit banyak akan pengin tahu konteks hubungan tulisan ini dengan yang benar-benar terjadi di Indonesia.
    Tapi, diluar itu…….lafadl tetap oke, ….

  2. swamp Says:

    Ya, sebagai penggemar karya-karya Orwell seneng banget waktu Lafadl nerbitin karya yang satu ini. Cuman, kok judulnya melarat? Apa mungkin untuk lebih merepresentasikan isinya kali y? Senada dengan komentar khoiron said, kok gak ada kata pengantar tokoh, atau sekedar dari penerjemah atau penerbit y? Jadinya, saya kaget tiba-tiba membuka halaman pertama langsung disambut dengan kata-kata “Rue du Coq d’Or, Paris…..”. Pula, keterangan dari penerbit asli juga diletakkan di belakang.
    Sayang sekali, sejauh ini (yang saya tahu) penerbit 2 di indonesia baru menerbitkan 3 buku Orwell, yaitu Animal Farm, 1984, dan yang terakhir diterbitkan oleh Lafadl yaitu melarat. Semoga saja ke depannya makin banyak penerbit yang mau menerbitkan karya Orwell yang lain, seperti Homage to Catalonia dan Shooting an Elephant.
    Pinginnya sih Lafadl mbok tolong terbitin karya-karyanya H.G. Wells dan Noam Chomsky. Sekedar usul saja…….

  3. lafadl Says:

    Terimakasih atas komentar dan kritiknya,
    mengenai kata pengantar, kami merasa bahwa buku karya george orwell ini “sudah mengantarkan dirinya”. maksudnya, tanpa kata pengantar sekalipun buku ini sudah bisa diterima dan dipahami oleh pembacanya. Selain itu, pada sebuah karya sastra, kata pengantar kadang justru mengganggu dan merusak kualitas buku. Kami memberi pengantar jika hanya memang ada yang perlu kami tambahkan dan ingin kami sampaikan, dan keperluan itu tidak ada ketika menerbitkan buku yang sangat baik ini.
    mengenai keterangan penerbit asli yang diletakkan di belakang, itu memang dari buku aslinya. Kami tidak mengubah tata letak ini demi menghormati penerbit asli yang telah mendobrak tradisi penerbitan buku kala itu.
    demikian keterangan kami. selebihnya, sekali lagi kami ucapkan terimakasih atas kritik dan masukannya.
    salam
    LAFADL


Tinggalkan komentar