Menyambut Kehadiran Perantau Baru

Senin, 12 Oktober 2009

Oleh: Muyik

Yogyakarta masih memikat. Daya tariknya tak akan pernah pudar dalam menarik pelajar-pelajar untuk berbondong-bondong datang.

Sedari dulu Yogyakarta terkenal sebagai kota pendidikan. Oleh karena itu, tidak sedikit peserta didik dari berbagai penjuru tanah air memutuskan untuk menuntut ilmu di Kota Gudeg. Berbekal kehadiran beragam individu atas suku, agama, ras, dan entitas lainnya membuat kehidupan multikultural tidak sulit dibina dijogja. Menjadikan daerah istimewa ini mendapat predikat miniatur Indonesia.

Daya pikat pendidikan di Yogyakarta mampu menjadi magnet yang menarik pelajar seluruh Indonesia dalam menuntut ilmu. Mereka berbondong-bondong datang dari Sabang sampai Merauke untuk merasakan aroma dialektika dan adu reproduksi gagasan di Yogya. Pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai jenjang perguruan tinggi banyak dilirik. Bahkan, pendidikan tingkat menengah di Kota Yogyakarta, tanpa mengenyampingkan tujuan protektif untuk warga kota, dikuotakan untuk pendatang.

Modal keanekaragaman kultur ini harus senantiasa dijaga agar imajinasi tentang keindonesiaan setiap orang hadir dalam benaknya. Satu sama lain akan menyadari betapa kayanya kebudayaan Indonesia. Orang dari luar Jawa akan mempelajari kebudayaan yang ada di daerah yang didatanginya, begitu juga sebaliknya. Baca entri selengkapnya »


Beberapa waktu lalu, saya diminta menulis untuk majalah mahasiswa Mahkamah—majalah mahasiswa fakultas hukum UGM. Ketika masih mahasiswa dulu saya aktif di majalah Sintesa yang berkawan sangat akrab dengan majalah Mahkamah ini. Hitung-hitung sebagai cara merawat rasa kangen yang bernuansa nostalgia gitu, saya penuhi permintaan tersebut. Saya tidak tahu apakah majalah Mahkamah yang akan memuat tulisan saya itu sudah terbit atau belum, atau bahkan jadi terbit atau tidak saya juga tidak tahu. Saya tahu persis bagaimana kesulitan pers mahasiswa untuk terbit secara rutin dan tepat waktu. Nah, inilah tulisan saya yang buat majalah mahkamah itu:

Aliran Sesat dan Wacana Multikulturalisme

Belakangan ini media disibukkan dengan isu maraknya aliran-aliran agama yang kemudian dituduh sebagai ”sesat” oleh MUI. Sebenarnya fenomena munculnya kelompok aliran keagaamaan bukanlah gejala baru. Hal itu muncul di mana-mana dan di agama apa saja. Sejak sebelum negeri ini berdiri, sudah ada gerakan keagamaan yang berbeda dengan mainstream. Gerakan-gerakan tersebut biasanya berciri mesianistik atau revisionis yang menganggap mainstream agama yang ada sudah tak sesuai lagi dengan hakikat tujuan agama itu sendiri. Aliran-aliran semacam ini mulai banyak dibicarakan ketika ada kecenderungan untuk melihatnya sebagai ancaman terhadap kemanaan dan stabilitas negara.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keamanan dan ketertiban adalah sesuatu yang sangat dijaga oleh negara. Segala sesuatu seperti diabdikan untuk menjaga ketertiban dan stabilitas. Ini tidak lain tidak bukan demi proyek pembangunan dan modernisasi. Segala sesuatu yang tak sesuai dengan jalan pembangunan harus disingkirkan dan dibungkam. Tertib beragama, misalnya, dalam imajinasi negara adalah masyarakat masuk ke dalam kotak-kotak agama yang diakui oleh pemerintah. Dampak kebijakan semacam ini adalah munculnya terma ”komunitas sesat” untuk merujuk pada komunitas agama yang tak sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh negara dan agama negara. Karena itu, di negeri ini hampir seperti tak ada bedanya antara paham kegamaan yang ”sesat” dengan komplotan pengacau keamanan: keduanya adalah pengancam ketertiban yang harus disingkirkan. Tentara dan polisi pun ikut menggunakan kata “sesat” untuk mengendalikan situasi dan keamanan. Ini bisa dilihat pada kasus aliran Al-Qiyadah baru-baru ini. Sejumlah kelompok yang difatwa sesat oleh MUI beberapa waktu lalu, misalnya, juga dianggap sebagai kelompok ilegal dan dilarang keberadaannya di negeri ini sebut misalnya Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, DI/TII, Mujahidin’nya Warsidi (Lampung), Syi’ah, Baha’i, “Inkarus Sunnah”, Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah (Aceh), dan lain-lain.

Sejak republik ini berdiri, kelompok-kelompok kecil yang berbeda dengan arus mainstream keagamaan Indonesia selalu diawasi dan dikontrol oleh Negara. Keberadaan Lembaga Pengawasan Agama dan Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) sejak awal 1960-an menunjukkan bahwa di Indoneisa negara memang sangat berhasrat untuk mengontrol warganya dalam soal keyakinan. Kontrol ini tidak hanya pada paham keagamaan yang muncul belakangan atau ”baru” namun juga pada komunitas-komunitas lokal yang usianya bisa jadi lebih tua dari republik ini. Sebut saja komunitas Kajang Sulawesi Selatan, Wetutelu di Nusa Tenggara Barat, Sedulur Sikep di Jawa Tengah, Parmalim di Medan, dan masih banyak lagi. Komunitas-komunitas agama lokal tersebut diangap sebagai keyakinan primitif yang harus dintegrasikan atau diagamakan ke dalam kotak-kotak agama besar yang diakui negara. Kelompok-kelompok tersebut tetap dianggap sebagai –meminjam istilah Vargas Llosa—”archaic obstacle”, hambatan warisan masa lalu yang harus diretas. Baca entri selengkapnya »