Seorang Lelaki Dengan Bahu Berwarna Ungu

Rabu, 19 September 2007


 Oleh: Nunung Q (Tim Kerja Lafadl Initiatives)

Hari itu 29 Agustus 2007, langit Banyuwangi yang merona indah masih setia menemani kami dalam pelatihan jurnalistik perempuan multikultural. Semua perasaan beradu– penat, haus ilmu, dan senam otak nampaknya juga setia menjadi bagian hidup kami dalam pelatihan jurnalistik yang mencoba menggabungkan dua tauhid – yang berbeda ini: penelitian dan jurnalisme. Tiada terasa 28 hari telah kami lalui bersama, bergulat dengan buku, lapangan, dan belajar banyak hal dalam pelatihan yang difasilitasi oleh Kajian Perempuan Desantara (KP Desantara)– sebuah LSM yang berkutat pada isu-isu perempuan dan feminisme multikultural.
Hari itu adalah hari-hari menjelang berakhirnya acara pelatihan yang begitu melelahkan raga dan otak kami.  Pada sepuluh hari pertama pelatihan,  kami diasupi materi dasar oleh Kirik Ertanto dari Save The Children  tentang akar penindasan pada perempuan, relasi kuasa dan dominasi akal budi. Otak dan kesadaran kami terasa terbolak-balik dengan pengetahuan baru yang disuguhkan Kirik. Semua yang dulunya kami pahami biasa nan alamiah, ternyata penuh gurat kuasa dan hegemoni kesadaran. Setelah puas dengan cerita penindasan, pelatihan dilanjutkan dengan pemetaan formasi sosial Banyuwangi dan diakhiri dengan proses penulisan. Masa penulisan inilah proses terberat yang kami harus lalui, setidaknya bagi beberapa teman dan saya—di mana menulis adalah sesuatu yang masih jarang kami lakukan. Melihat betapa hari-hari terakhir itu  kami berkutat dengan buku dan laptop,  barangkali panitia menangkap kepenatan yang kami rasakan. Sehingga secara tiba-tiba mereka mengajak kami mengunjungi salah satu dari 26 tempat wisata terkenal di Banyuwangi yakni kawah ijen—Kawah danau terbesar di Pulau Jawa. Terbayang sebuah kawasan gunung nan elok seperti yang tepampang dalam brosur wisata Dinas Pariwisata Banyuwangi.
Tawaran itu kami sambut dengan senang hati, hitung-hitung bolehlah kami sejenak melupakan rumitnya merangkai data riset lapangan kami. Setelah sebelumnya melihat Banyuwangi dari sisi kebudayaanya, inilah saatnya mengudara melihat sisi lain kota yang letaknya di paling ujung Jawa ini. Bagi saya sendiri ini adalah pengalaman pertama mendaki gunung yang tingginya lebih dari 3000 meter. Sebenarnya ada puluhan tempat wisata di Banyuwangi. Namun kawah ijen tempatnya  relatif paling dekat dengan tempat penginapan kami di Desa Wisata Using Kemiren yang kurang lebih 8 km arah barat dari kota Banyuwangi. Kawah Ijen sendiri berada 37 km di selatan desa Kemiren, yang memang berada dikaki gunung itu. Jika perjalanan dimulai dari Desa Wisata Using dengan menggunakan mobil pick-up berselimut terpal, yang jadi mobil angkutan penumpang utama daerah kaki Ijen, dibutuhkan waktu tidak kurang dari 3 jam karena jalan menanjak.
Sekitar pukul 10:00 Wib, setelah semua selesai memberi hak perut masing-masing, dengan menumpang mobil pick up sewaan sekitar 15 orang dari kami berangkat menuju kawah Ijen. Perjalanan belum lama berselang, kira-kira 1 km di sebelah barat tempat kami tinggal, kami dipesona sebuah rumah bergaya Using yang mewah–tentunya  Jelas bukan rumah Using seperti kebanyakan dimiliki oleh para penduduk sini yang amat sederhana dan biasa kami temui. Rumah itu bernuansa jawa tanpa dipoles cat sedikitpun dengan 100 persen berbahan dari kayu jati istimewa. Luas tempatnya sekira 1 hektar—ada 3 bangunan penting yang dibangun di tanah seluas itu. tak terbayangkan berapa banyak uang yang digunakan untuk bangunan seeolok dan seklasik itu.
Bangunan pertama rumah yang kami temui ini selain difungsikan untuk para pekerja merajut tenun yang terbuat dari serat pisang abaka, juga digunakan untuk memajang hasil tenunan yang telah jadi. Berbagai taplak meja berwarna-warni, tas dan kerai semuanya adalah terbuat dari serat pisang tersaji indah. Rumah klasih elok ini jadi semcam workshop kecil-kecilan bagi perempuan sekitar nampaknya. Harga yang ditawarkan dari hasil workshop ini berkisar Rp. 20.000,- hingga Rp. 80.000,-. Konon hasil tenunan ini sudah beredar hingga menembus pasar luar negeri, bahkan sering pemandu wisata di Banyuwangi mengajak turis asing untuk berbelanja buah tangan di workshop ini.  Persis di sebelah bangunan pertama terdapat rumah kayu terbuka berukuran 10×10 m², yang hanya berisi 3 set meja kursi panjang—cukuplah untuk duduk 20 orang. Tempat ini sepertinya difungsikan untuk pertemuan dan sengaja dibiarkan terbuka agar setiap orang yang berada di situ bisa memandang lepas sekenanya. Di belakang, kami melihat bangunan yang berfungsi untuk tempat bahan-bahan mentah tenun, juga tempat para pekerja melakukan aktivitas lainnya.
Ah rumah itu masih membayangi saya dalam perjalanan ke Ijen. Saya jadi mengenang Setiawan Subekti atau biasa dipanggil Pak Iwan, sang pemilik rumah ini, seorang saudagar kaya raya keturunan Cina yang telah saya kenal beberapa hari setelah menginjak desa Kemiren. Konon  Pak Iwan adalah satu-satunya orang asing yang bisa membeli tanah di daerah Kemiren. Menurut pak Safii salah satu tokoh di Desa Kemiren ini, tak ada satupun penduduk yang mau menjual tanahnya kepada orang asing. Biasanya mereka akan menjual tanah mereka pada para penduduk Kemiren sendiri. Sehingga nyaris di Desa Kemiren ini tidak ada orang selain Using yang menetap dan tinggal di daerah ini. Bagaimana akhirnya saudagar kaya itu bisa membeli tanah di Kemiren? Entahlah…pastilah ada saja orang yang “berbaik hati” padanya.
Mobil sewaan pun lambat laun membawa kami menjauh dari desa Kemiren, juga dari rumah itu. Hamparan sawah yang maha luas, suara gemericik air yang beradu dengan bebatuan turut menjadi saksi betapa kagumnya kami melihat lukisan indah penuh jejakNya.  Perjalanan semakin kami nikmati dengan guyonan ringan yang membuat suasana ramai. Sesekali bernyanyi bersama dengan diiringi petikan gitar dari salah satu teman kami. Terkadang kami terdiam bergelut dengan pikiran masing-masing, kembali menikmati gambar sang pencipta yang maha indah. Nampak pepohonan berderet seakan mengikuti kemana kami pergi, seolah betapa merugi kami kalau harus berkedip sekejap.
Setelah larut dalam pikiran kami, melintas beberapa  perempuan dengan pakaian khas perkebunan dengan celana panjang berpadu rok, baju lengan panjang berlapis, bertopi lebar dan muka yang berbalut kain hingga hanya mata yang nampak ketika bekerja. Jelas mereka bukan ninja Jepang atau juga ”ninja” yang dikreasikan Jakarta dan menghebohkan Banyuwangi pada tahun 98-99 itu. Konon mereka adalah perempuan-perempuan desa, dari keturanan keempat pekerja perkebunan yang datang dari Madura. Hari itu nampaknya mereka baru pulang dari aktivitasnya. Sama sekali tak tampak gurat lelah di wajah mereka, senyum dan tawa mengiringi langkah mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Setiap hari para pekerja perempuan yang jumlahnya mencapai 300 orang ini bekerja pada perkebunan yang terletak di Kali Bendo ±15 km dari Desa Wisata Using  Kemiren. Mereka mulai bekerja dari pukul enam pagi hingga pukul satu siang di perkebunan yang HGU-nya dikuasai orang tua Pak Iwan—empunya pusat kerajinan tenun pisang di Kemiren, pasca nasionalisasi perekebunan Belanda pertengahan tahun 1960. Dari perkebunan yang memiliki luas kurang lebih 850 Hektar  ini dihasilkan kopi, vanili, cengkeh dan getah karet. Konon pak Iwan adalah satu-satunya pengusaha asal Indonesia yang tergabung dalam ikatan pengusaha kopi dunia.  Menurut pengakuan Pak Iwan adalah hal biasa jika dirinya nongkrong bersama pemilik Starbucks Coffee nan mashyur itu. Ehmm..

Puas menikmati perkebunan, dan beberapa kali harus turun dari mobil karena ternyata mobil yang kami tumpangi tak cukup kuat membawa beban tubuh kami, akhirnya mobil sampai di tempat wisata Kawah Ijen. Segera ’upeti wisata’ dibebankan kepada kami sejumlah Rp. 1500,-per orang. Akhirnya  dengan berbekal air minum sekedarnya yang kami beli didekat loket wisata kawah Ijen itu kami mulai menaiki bukit demi bukit. Perjalanan terbayang begitu jauh dan berkelok. Menurut beberapa orang yang kami temui, untuk sampai di pusat kawah ijen kami harus berjalan kaki sejauh 7  km atau kira-kira 3 jam. Beberapa dari kami terlihat semangat sekali, ada juga yang dengan santai sambil  mengobrol menaiki lereng menuju tempat wisata termasuk saya tentunya.
Jalan yang harus kami lalui ternyata benar-benar sulit. Walaupun jalannya telah jamak dilalui namun banyak pula kerikil berserakan di sana-sini, sehingga harus ekstra hati-hati jika tidak ingin terjatuh. Beberapa kali istirahat, ternyata tidak cukup membuat tubuh ini semangat. Nyatanya saya tertinggal dari teman-teman yang lain. Maklumlah ini adalah pendakian gunung pertama bagi saya. Lagi pula lebih asyik menikmati apa yang tersaji di depan mata. Sungguh luar biasa, sepanjang jalan pohon-pohon dengan gagahnya berdiri tegak, seakan menantang setiap pendaki yang lewat untuk segera tiba di tempat tujuan. Tak ada polusi, tak ada asap kendaraan. Udara begitu segarnya walaupun matahari tepat berada di kepala.  Jika biasanya di kota-kota besar termasuk di Yogyakarta, tempat tinggal saya, susah mendapatkan udara bersih, di sini justru berlimpah—jutaan pohon mengeluarkan oksigen yang siap di hirup oleh mahluk hidup lainnya.
Sejam berjalan, dan untuk kesekian kalinya saya mencari tempat untuk sejenak merehatkan kaki— saya sandarkan tubuh pada bebatuan. Nampak seorang laki-laki juga sedang istirahat tak jauh dari tempat duduk saya. Laki-laki itu sedang menyeka keringat di wajahnya yang legam berabu. Penasaran dengan dua keranjang berisikan sesuatu berwarna kuning persis di sampingnya, saya mencoba mendekatinya.  Tampak dua keranjang, yang akhirnya saya ketahui adalah belerang–bau yang dikeluarkannya begitu menyengat sekali, hingga terasa menambah berat napas kami yang tiada pernah mendaki. Saya perhatikan dengan seksama, ada luka berwarna ungu di kedua pundak lelaki itu. Saya duga luka ini adalah hasil memanggul bongkahan belerang yang menyerupai besar batu gunung. Entalah berapa beratnya, barangkali dua kali berat tubuh saya.

Setelah beberapa saat berbasi basi saya ketahui namanya Baekuni. Laki-laki berperawakan pendek kekar asal madura ini setiap harinya mengambil  belerang di dasar kawah Ijen. Umurnya baru 25 tahun, namun kerut nasib dimukanya nampak melampaui umur aslinya. Ketika fajar belum mulai menyingsing, dan semua orang masih terlelap,  menarik selimut yang menutup tubuh mereka oleh dinginnya hawa pengunungan lalu berharap malam masih menyelimuti bumi pertiwi., Baekuni  justru sengaja terbangun memancang harapannya sendiri. Segala perlengkapan dia persiapkan; keranjang dua sisi, handuk penyeka keringat, sepatu kats yang telah lusuh, air minum juga  nasi bungkus untuk bekal diperjalanan.
Setiap hari sebelum jarum panjang menunjuk angka tiga dengan mantap Baekuni melangkahkan kakinya meninggalkan rumah kecil kontrakannya menuju ke kawah ijen—kawah yang menyimpan jutaan sulfur dan impian hari esoknya. Dan di kawah itulah nantinya Baekuni dan ratusan orang lainnya mengambil sulfur untuk dijualnya kembali. Sungguh sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Jalan yang harus dia lalui sangatlah panjang, butuh waktu tiga jam dengan berjalan kaki untuk sampai tempat sulfur itu berada, kurang lebih tujuh kilometer. Belum lagi jalan yang berkelok-kelok, kemiringannya mencapai 45°. Kawah Belerang berada dalam Sulfatara yang dalam mencapai 200 m dan mengandung 36 juta meter kubik air asam beruap. Walaupun jalan telah beraspal namun banyak lubang di sana-sini, pasir sudah mulai lepas, sehingga siapapun harus berhati-hati melewatinya jika tidak ingin terpeleset.
Begitulah setiap hari dia lalui, berharap mendapat belerang sebanyak mungkin untuk dapat di jualnya kembali. Sayang, pundaknya tak cukup kuat lagi membawa banyak belerang. Dengan keranjang dua sisi yang di panggulnya, dia hanya mampu membawa rata-rata 80 kg. 1 kg nya dihargai 400 rupiah, jumlah yang sangat tidak sebanding dengan kerja kerasnya melewati lereng gunung dengan resiko yang sangat berbahaya—terjatuh, belum lagi penyakit lain akibat seringnya menghirup kerasnya bau belerang.
Tak dia hiraukan semua risiko yang bisa jadi akan menimpa dirinya. Tak ada pilihan lain selain bekerja seperti ini. Tanahnya di Madura yang hanya sepetak tak cukup untuk menghidupi istri dan kedua anaknya yang telah dewasa. Tak apalah enam hari dalam seminggu berpisah dengan keluarga yang amat dicintainya. Asalkan setiap akhir pekan Baekuni dengan penuh kepuasan bisa membawa  lembar-lembar uang hasil jerih lelahnya selama seminggu untuk dipersembakan kepada keluarga tercinta. Walaupun setiap harinya untuk menyisihkan lebih banyak uang dia harus mengontrak rumah kecil yang dihuni bersama dengan teman-temannya, dia juga lebih memilih memasak sendiri ketimbang harus membeli makanan yang tentu saja akan menguras banyak uang. ”Lebih ngirit masak Mbak, paling seminggu cuma habis 50 rb,” ungkapnya dalam bahasa madura sambil menyeka keringat di dahinya.
Pernah suatu ketika dia berangan-angan seandainya mampu menjual belerang hasil galiannya langsung ke pabrik pengolahan belerang pastilah hasil yang dia dapatkan jauh lebih banyak. Tapi itu hanya sebatas angan-angan saja. Tak ada yang mau membeli belerangnya kecuali perusahaan PT. Candi Ngrimbi yang tak lain adalah pemilik pertambangan belerang di kawah ijen.  PT. Candi Ngrimbi adalah satu-satunya perusahaan yang mempunyai hak mutlak atas belerang yang ada di Kawah Ijen ini. Entah sejak kapan negara ini menjual kekayaan alam yang begitu melimpah pada segelintir orang.  Tak ada sedikitpun yang berani menjual kepada tengkulak lain. Ada mandor yang mengawasi pekerjaan mereka dan menimbang serta mencatat berapa banyak belerang yang di angkut. Data ini yang akan dijadikan patokan oleh penadah PT. Candi Ngrimbi untuk melihat apakah ada belerang yang dijual kepada orang lain.  Artinya jumlah yang ditimbang sebelumnya harus sama dengan yang dijual. Jika terjadi sedikit saja kekurangan atau kelebihan tak segan-segan mereka akan dikenai pasal pencurian dan bui siap menampung mereka. Jika sudah begitu siapa yang akan menjamin kehidupan keluarga mereka?
Begitulah dia menjalani kesehariannya. Baekuni hanya satu contoh saja yang kebetulan saya temui. Ada ratusan pekerja lain yang mengalami nasib serupa bahkan mungkin jauh lebih parah. Bukan tidak mungkin pemda setempat atau pemimpin negeri ini mengetahui nasib mereka, namun seolah-olah mereka menutup mata dan telinga. Sepanjang tidak merugikan para elit pemda dan mampu mendatangkan para investor—tak apalah pundak para pekerja tambang  memar menjadi korban.
Dalam batin saya berkata inikah penindasan itu? Ada di mana-mana dalam berbagai bentuk rupa, pelaku, dan jenis yang jauh melampaui apa yang kami bayangkan dan ketahui melalui pelatihan ini. Akhirnya dengan malas saya melanjutkan perjalanan bersama dengan beberapa kawan lainnya. Dalam perjalanan, saya masih mengingat dengan jelas warna ungu di bahu Baekuni akibat memanggul beratnya belerang setiap hari—warna yang memuat banyak kisah tentang pahitnya mencari sesuap nasi…..

9 Responses to “Seorang Lelaki Dengan Bahu Berwarna Ungu”

  1. Andra & The Backbones Says:

    Lennon pun separo berdoa:

    Imagine no possessions
    I wonder if you can
    No need for greed or hunger
    A brotherhood of man
    Imagine all the people
    Sharing all the world

    Jelas semua ini bukan persoalan takdir dan nasib yang digariskan Tuhan tapi bagaimana sistem yang baik dan adil juga manusiawi itu tidak dijalankan meski sesungguhnya sangat bisa. Seperti iman Lafadl: other wolrds are possible…

    Enggak heran juga klo orang macam Obet Markeso eh Herbert Marcuse ding dan Sartre pernah kesal dan berujar: “Kekerasan adalah alat emansipasi mereka yang tertindas!”

  2. jelangfajar Says:

    wah, benar-benar sangat deskriptif dan “berbicara”. inilah genre “travelogue” itu. mirip dengan features-featuresnya romo sindhu, terutama yang di buku “manusia dan perjalanan” itu. salam berguru…

  3. rhara Says:

    sungguh tidak adil.
    kita bisa memprotes kejadian itu

  4. rhara Says:

    sungguh tidak adil
    apabila perusahaan tersebut melakukan hal_hal semacam itu

  5. zO...!! Says:

    upah yang didapatkan oleh buruh tersebut tidak sebanding dengan semua yang telah dikerjakan, seharusnya pihak perusahaan lebih memperhatikan kesejahteraan para buruh!!

  6. Inspekd Says:

    kira2 bisa numpang salam, bila sempat kunjungi kami http://komdempel.wordpress.com/

  7. Zi3 Says:

    di tepi Kaldera ita saya berpikir banyak-banyak… inti dari semuanya ternyata bukan upah, lelah, keringat dan nyawa…
    ada banyak hal yang tak harus dikatakan tapi harus kita mengerti… alam, pesoba alam disekitar Ijen sudah mereka bayar mahal dengan semua yang nereka jalani.

  8. ipji Says:

    yup….kami pernah OTW ke Licin, warga licin mengangkat belerang dengan upah 1-1,5 juta perbulan, tiap hari memikul 80 kg dengan jarak puluhan km. tragis melihat kondisi mereka….. tanpa asuransi, dan tunjangan lainnya. Inilah potret Indonesia.


  9. […] di  lafadl.wordpress.com pada 19 September […]


Tinggalkan Balasan ke Andra & The Backbones Batalkan balasan