Pandangan Selayang di Kampung ‘Sisa-sisa’

Minggu, 23 Juli 2006

Oleh: Bosman Batubara (Geologist, anggota Forum Lafadl)

Posisi nusantara dalam perspektif geotektonika, selain rawan terhadap pelbagai bencana alam seperti yang menimpa beberapa daerah pada tempo-tempo belakangan ini: tsunami pada penghujung tahun 2004 di NAD, gempabumi dan ancaman gunungapi di Jogjakarta baru-baru ini; juga sangat kaya dengan pelbagai sumber daya alam (SDA). Antara lain berupa sumber daya minyak dan gas (migas) dan sumberdaya mineral. Tercatat sumberdaya migas misalnya, mulai cadangan-cadangan minyak bumi yang telah disedot dengan pompa-pompa angguk sejak zaman penjajahan Belanda dari cekungan-cekungan bagian utara dan tengah Pulau Sumatera, sampai yang belakangan ini selalu ramai diperdebatkan para pakar di pelbagai media: giant oil field di daerah Cepu. Di bidang sumberdaya mineral, di daerah timur Indonesia yang sebagian besar batuannya adalah batuan mafik-ultramafik misalnya, terdapat cebakan porfiri berupa dua gunung bijih di tanah Papua: Estberg dan Grasberg, cadangan nikel laterit raksasa di Sorowako, Sulawesi, dan emas di Nusa Tenggara.

Kesemuanya itu menjadi sebuah keunggulan sekaligus sumber problematika. Dikatakan sebagai keunggulan, jelas, karena cadangan-cadangan kekayaan alam tersebut tak ternilai harganya. Mendatangkan devisa yang besar bagi negara, dan seterusnya. Dikatakan sumber problematika, jelas, karena dalam pengelolaannya, hampir semua proyek ekstraksi SDA selalu saja menyisakan masalah. Mulai dari masalah jangka panjang berupak impak ekologis; permasalahan pembagian antara investor dengan pemerintah; permasalahan pembagian antara pemerintah pusat dengan daerah; permasalahan hak penduduk yang beridam di sekitarnya; community development (CD); dan seterusnya. Semua permasalahan tersebut sudah banyak ditulis, didiskusikan, ditulis lagi, didiskusikan lagi, dalam pelbagi fora.

Tulisan ini sendiri, hanyalah catatan ringan yang berisi ‘pandangan selayang’ pada suatu lokasi yang pernah tercatat sebagai salah satu lokasi tambang besar di Pulau Borneo. Saya merasa beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk memijak tanah di sekitar bekas tambang PT. Kelian Equatorial Mining (KEM), sebuah tambang emas di Kabuten Kutai Barat, Kalimantan Timut yang, pada zamannya merupakan sebuah tambang emas dengan gema yang ‘berdentum nyaring’ karena produksinya merupakan salah satu yang terbesar di tanah air ini. Keberuntungan ini semakin lengkap justru karena saya memijak lokasi tersebut pada saat aktivitas pertambangan sudah di penghujung nafas. Laksana, hingar-bingar ‘perhelatan’ Piala Dunia yang sudah usai, stadion-stadion tinggal menyisakan rumput-rumput yang hancur dipijak pemain; taman-taman yang penuh dengan tumpukan sampah dan botol bir akibat pesta bermalam-malam suntuk di luar stadion; demikian pula kondisi yang saya temui. Produksi gila-gilaan dalam skala raksasa sudah tak ada; jalan hauling di beberapa tempat mulai tak terpelihara; plang-plang desa dan tangki-tangki air yang di bagian bawahnya tergambar logo PT. KEM sudah mulai mengelupas catnya; para pelacur di lokalisasi yang dulu selalu wangi sekarang hanya dapat mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan saling mencari kutu karena jarangnya pria hidung belang yang datang berkunjung; para, dan juga bekas, pejabat pemerintah daerah mulai gemetaran karena satu-persatu kasus penilepan uang kompensasi untuk rakyat mulai terungkap; aktivis lingkungan mulai meninggalkan massa yang dulu diadvokasinya; beberapa petinggi adat sudah makmur dengan rumah baru di Pulau Jawa lengkap dengan garasinya yang berisi mobil sport berwarna hitam sebagai imbalan atas luasnya tanah mereka yang dulu direbut moyangnya melalu peristiwa pertimpasan yang menumpahkan darah; semuanya bak crescendo yang menandai pamungkas sebuah konser musik raksasa.

Namun, kondisi seperti ini memudahkan saya mengamati sejauh mana sebuah industri, dalam hal ini pertambangan, dapat mengintrusi—sekaligus menginspirasi—perikehidupan masyarakat yang tinggal di, dan datang ke, sekitarnya. Meskipun mungkin gambaran yang diperoleh bukan dalam bentuk sebuah mozaik utuh, hanya berupa serpihan yang tercecer; yang salah satunya akibat keterbatasan ruang-waktu saya dalam mengamati sehingga hanya dapat bercerita berdasarkan apa yang ditangkap mata; tetapi meski demikian, pengalaman ini tak kurang penting. Sebab, mengulangi pemisalan tadi, aktivitas pasca ‘perhelatan’ biasanya selalu kesulitan untuk mendapatkan tempat sebagai headline. Space sudah seluruhnya berisi petikan pernyataan para jawara dan foto mereka yang sedang mengangkat piala. Para petugas yang banting tulang memeras keringat mengurusi sisa pesta bermalam-malam suntuk, hanyalah pelengkap. Meski, disadari atau tidak, diterima atau tidak, peranan mereka tak dapat diabaikan. Relevansi tulisan ini ditemukan dengan perspektif begitulah.

Ketika pertama kali memijakkan kaki di Kampung Kelian Dalam, saya langsung merasa aneh. Rasanya ada yang tak biasa dengan Kampung ini. Perlahan-lahan, seperti mentari yang menyingsing di ufuk timur, hal-hal ‘yang tak biasa’ itu melakukan pengakuannya sendiri-sendiri. Bentuk rumah-rumah di Kampung ini ternyata tidak berbentuk rumah panggung meskipun Kampung ini—sebagaimana lazimnya—juga merupakan hunian tepi sungai. Rumah mereka rendah-rendah, terbuat dari kayu, dan semuanya bertingkat (2 lantai). Di tengah keheranan menyaksikan bentuk-bentuk rumah bukan panggung tersebut, saya mencoba mencari tahu apa penyebabnya. Melalui cerita Bu Romlah, seorang warga separoh baya, soalan ini menemukan jawabannya. Menurut Bu Romlah, Kampung itu sangat heterogen, (tentunya, sependek ingatan saya, semuanya ini saya ceritakan kembali dalam bahasa berbeda, tanpa mengubah maksud yang disampaikan Bu Romlah) tidak semua penghuninya Orang Dayak. Orang Dayak bahkan menjadi suku minoritas di Kampung ini. Meski secara geografis, Kampung ini terletak di tanah yang semestinya menjadi jantung peradaban Dayak. Kampung Kelian Dalam dihuni oleh pelbagai suku Bangsa. Bu Romlah sendiri seorang Madura. Suaminya, Pak Hasan, seorang Bugis. Selain Madura dan Bugis, di Kampung ini masih terdapat pelbagai macam suku seperti Jawa, Banjar, dan tentunya Dayak (Tunjung). Dari 400 kepala keluarga yang menghuni Kampung ini, 90% di antaranya memeluk Agama Islam, dan sisanya yang 10% terbagi dua antara Katolik dan Protestan.

Jelas hal ini sangat menarik: sebuah Kampung yang berada di pedalaman, yang untuk mencapainya saja mesti memaki ces menyusuri sungai Kelian yang berlekuk-liku atau lewat jalan tanah dengan kewajiban memaki mobil 4WD karena kalau tidak alamat tak bakal sampai di tujuan, sangat kosmopolit dalam hal komposisi warganya. Model pemukiman yang hampir menyerupai (kesumpekan) sebuah pasar di sebuah kota Metropolitan, padahal ia terletak di tengah-tengah belantara Borneo. Kenapa bisa begitu? Ternyata hal ini disebabkan karena Kampung Kelian Dalam adalah sebuah Kampung ‘sisa-sisa’ PT. KEM. Kampung ini tumbuh, mekar, dan layu seiring dengan aktivitas di PT. KEM.

Berdirinya PT. KEM telah menyedot manusia dari berbagai daerah asal untuk tumpah mengadu nasib di daerah Kelian. Aneka macam pekerjaan yang tersedia, menjadi pegawai di PT. KEM atau membuka bisnis sendiri yang menyuplai aneka kebutuhan bagi para karyawan PT. KEM. Seorang warga menggambarkan kemakmuran mereka ketika zaman keemasan PT. KEM, “ketika itu,” katanya, “bukan tenaga yang mencari uang, tetapi uanglah yang mencari tenaga.” Penghasilan datang seperti aliran sungai Kelian: tak pernah kemarau. Asalkan mau berkeringat, maka dijamin tidak akan hidup susah. Apalagi kalau sedikit memiliki kemampuan berdagang, maka harta pencarian akan cepat menumpuk.

Tetapi sekarang zaman keemasan sudah mencapai penghujung nafas. Mata air penghasilan sudah hampir kering. Celakanya, gaya hidup sudah terlanjur terjebak dalam pusaran kehidupan konsumeris. Harga-harga barang yang dulu meskipun tinggi tak pernah menjadi masalah, sekarang menjadi masalah. Untuk memperoleh seliter bensin untuk keperluan ekspedisi kami, maka uang Rp. 6000,- harus keluar. Harga yang sama untuk satu liter solar. Untuk satu botol air mineral ukuran 600 ml, uang sebanyak Rp. 3.000,- harus melayang. Upah harian juga sangat tinggi, mungkin jauh mengalahkan standar upah di Kota seperti Jogjakarta. Untuk dapat memakai jasa seorang penduduk sebagai pemandu, maka untuk satu hari kami harus mengeluarkan Rp. 100.000,- per orang, plus menanggung makan siang sang pemandu. Dengan perhitungan, satu porsi dengan menu standar di warung Bu Romlah, yang kebetulan berprofesi sebagai penjual nasi, kami harus merogoh kocek sebanyak Rp. 10.000,-. Belum lagi kalau mulut terbiasa minum segelas kopi atau es teh atau es jeruk sehabis makan, maka untuk ketiga jenis minuman terakhir ini kami harus menambah sebesar Rp.3.000,- per gelasnya.

Menerus dengan harga-harga barang yang sudah demikian membubung, penduduk di Kampung ini juga tampaknya tak tanggung-tanggung dalam menganut pola kehidupan konsumtif. Pada kios-kios usang yang terdapat di hampir sepanjang jalan semen dengan lebar kurang dari dua meter yang membelah Kampung, terpajang pelbagai benda yang sering menjadi perlambang budaya konsumtif. Seperti minuman kaleng dengan aneka merek: Fanta, Coca Cola, dan Sprite. Ada juga toko yang menjual televisi mulai model televisi kecil 10” sampai televisi berwarna dengan layar yang datar, tape, senapan angin, sparepart mobil dan motor, aneka ukuran baut dan mur, oli, bensin, perlatan pertanian seperti cangkul, pisau, batu asahan, dan mandau; baju-baju dan celana-celana. Selain itu, di Kampung ini juga ada sebuah counter HP. Bermacam HP seri terbaru dari merek-merek terkenal seperti NOKIA dan SIEMENS terpajang di sana. Meski untuk dapat mengirim sms, penduduk mesti berkumpul di satu titik di dekat counter tersebut. Karena hanya pada titik itulah signal HP didapat. Itupun karena pemilik counter memasang antena. Salah seorang warga sempat berkata pada saya, “sinyal hanya ada di sana Pak, pakai antena. Kan beliau itu jualan HP dan voucher, kalau dia nggak pasang antena, nggak laku donk jualannya.”

Meski jalan ke Kampung mereka hanya jalan tanah yang kalau hujan sangat susah dilalui bahkan oleh mobil 4WD sekalipun, hampir semua keluarga di Kampung ini memiliki sepeda motor. Sepeda motor bukan sembarang sepeda motor, pada pandangan selayang, Honda Supra adalah sepeda motor paling jelek (baca: murah). Selebihnya adalah motor-motor generasi yang dipakai untuk balapan. Dan ini semakin ironis karena hampir semua sepeda motor selalu berbalut lumpur berwarna kemerahan.

Para penduduk umumnya berkeja sebagai pencari emas di Sungai Kelian. Hal ini terutama mereka lakukan sesudah warung-warung mereka semakin hari semakin sepi dari pembeli. Karena para pembeli yang dulu, sebagian besar, adalah para karyawan PT. KEM, tampaknya sudah pulang kembali ke daerah asal masing-masing. Mereka mencari emas dengan cara menyedot material sedimen (pasir-kerikil) melalui pompa penghisap ke suatu ketinggian yang sudah disiapkan menara. Kemudian material sedimen tersebut, dengan bantuan fluida (air/H2O), dijatuhkan di atas semacam kanal yang dasarnya terbuat dari karpet. Fulida akan membawa serta material-material yang dapat diangkutnya, tetapi material yang lebih besar densitasnya (seperti emas/Au) akan tersangkut di karpet.

Berdasarkan pengakuan beberapa penambang emas, belakangan ini produksi emas mereka semakin berkurang, bahkan tak jarang mereka nombok. Karena produksi tak mencukupi biaya operasional yang antara lain berupa biaya pembelian bahan bakar pompa penyedot.

Dengan perspektif eksplorasi sebenarnya hal ini mudah dimengerti. Emas yang mereka cari adalah endapan skunder berupa placer. Endapan placer, yaitu endapan mineral yang sudah tertransport dari daerah asalnya, terutama oleh agen geomorfologis seperti air yang mengalir di Sungai Kelian ini. Jadi agar tercipta endapan placer, harus ada sumber utamanya di bagian hulu sungai. Dalam kondisi sekarang, si sumber utama di hulu sungai tersebut sudah ditambang oleh PT. KEM. Dengan sendirinya pemasok endapan palcer di lokasi tambang rakyat di hilir ini telah habis. Jadi kalau menambang di jalur sungai sekarang (recent) kecil kemungkinan akan menemukan emas, karena sumber di hulu telah diambil.

Untuk mengatasi situasi seperti ini—masih dengan logika eksplorasi—sebenarnya aktivitas tambang rakyat ini bisa berpindah ke jalur-jalur sungai purba, karena kemungkinan besar material endapan di jalur sungai purba masih mengandung emas, karena ia merupakan hasil transportasi dan pengendapan pada saat sumber emas di hulu masih utuh. Tetapi untuk menemukan jalur-jalur sungai purba ini pun bukanlah perkara yang gampang. Seorang geologist biasanya memakai metode eksplorasi arus purba (paleocurrent exploration methode) untuk mengenalinya. Dan entah mereka paham entah tidak, tampaknya kegiatan pencarian jalur sungai purba ini tidak berlangsung.

Demikianlah. Tampaknya, dengan kondisi faktual dan aktual seperti itu, semakin hari kehidupan di Kampung Kelian Dalam akan semakin keras. Industri pertambangan telah menyedot mereka dari daerah asal masing-masing, untuk membangun kampung di sebuah lokasi yang, pada zamannya ditinjau dari pelbagai segi, sangat strategis. Tetapi sekarang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang sudah terlanjur berada pada level ‘ekonomi tinggi’. Masyarakat pendatang yang tahunya mencari makan telah disedot oleh industri, meninggalkan desa-desa mereka di seberang sana; Suku Dayak Tunjung yang merupakan penduduk lokal, sudah terlanjur (terpaksa?) meninggalkan pola ekonomi subsisten mereka ke arah ekonomi pasar. Dan sekarang ‘pasar’ mereka telah limbung.

Dalam diskursus yang berkembang di kalangan para pegiat industri pertambangan, fenomena ini, hanyalah figuran yang jarang—atau mungkin tak pernah?—muncul di headline. Space terlanjur dipenuhi oleh isu-isu mainstream, seperti lingkungan; ganti rugi pembebasan lahan; program-program CD yang biasanya masih sangat karitatif, instan, tak memikirkan keberlanjutan dan kemungkinan ketergantungan yang bakal timbul, seperti salah satu yang terdapat di Kampung ini: pengadaan listrik desa dengan menggunakan mesin diesel di tengah tenaga air yang melimpah; dan seterusnya. Satu PR penting lagi bagi para pegiat industri pertambangan, sebelum seluruh kekayaan alam terkeruk dengan hasil, alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi malah membenamkan mereka dalam teka-teki kehidupan yang tak terpecahkan. Dan bak kata pepatah ‘arang habis besi binasa’ lah yang menjadi bagian mereka.

Saya sendiri, hanya dapat melambaikan tangan kepada Bu Romlah yang melepas tim kami dengan mata berkaca-kaca ketika akan meninggalkan Kampung ini. Tanpa saya sengaja, otot-otot di sekitar mulut saya terasa berkontraksi, pertanda senyuman terukir di sana. Sebuah senyuman. Meski di pedalaman diri, di bagian yang paling dalam, di pulau sepi yang tak pernah tersentuh orang, terasa seperti dikorek-korek dengan garpu dan beling…

Jogjakarta, 11 Juli 2006

 

 

2 Responses to “Pandangan Selayang di Kampung ‘Sisa-sisa’”

  1. erwan Says:

    bener bngt mas….
    pas puasa kemarin saya kesana, kebetulan ada survey…
    wah….saya liat sungainya udah hancur bngt…
    2 minggu saya di sana..
    harga pulsa 10rb aja di jual 20rb…
    saya belinya di counter di atas…
    tp di sana seru..
    baca artikel mas saya jdi ingat survey kemarin…
    makasih mas…
    lam knal..


Tinggalkan Balasan ke Pandangan Selayang di Kampung ‘Sisa-sisa’ « untuk kekagumanku kepada annelies… Batalkan balasan