Oleh: Heru Prasetia (pegiat lafadl initiatives)
Jika anda mengikuti berita di media akhir-akhir ini, anda akan segera menjumpai hal-hal konyol. Tak ada yang lebih konyol satu sama lain karena masing-masing telah mencapai tingkat kekonyolan yang paling mumpuni. Deret kekonyolan di bawah ini bisa anda tambahi sendiri karena saya sebenarnya tak banyak mengikuti berita-berita konyol ini:
Satu, beberapa waktu lalu ada orang ngaku terima duit yang tidak bener dari mantan pejabat. Sesaat setelah itu orang itu dipuja-puji sebagai orang yang berani dan penuh kejujuran (jujur kok setelah ketahuan belangnya…). parahnya lagi, banyak yang membela agar orang ini tak dimasukkan penjara karena dia telah berjasa pad bangsa ini. maksudnya: pernah jadi pejabat (padahal, kalau memang pernah berjasa, jasanya itu sudah dibayar bangsa ini dengan gaji yang ia telan bersama keluarganya itu. Lha wong sudah dapat bayaran kok masih dianggap berjasa. Berjasa dari hongkong?). Baca entri selengkapnya »

 Oleh: Uzair fauzan (koordinator lafadl initiatives)

Minggu lalu, saya bertandang ke sekretariat Pergerakan di Bandung untuk mengikuti Forum Interseksi. Forum terakhir ini adalah forum tukar pikiran di antara anak-anak muda yang digagas oleh Yayasan Interseksi. Hingga akhir pekan, kami membincangkan perihal relasi negara, pasar dan intelektual. Dan dengan kehadiran Pak Ade dkk petani dari Sukabumi, perbincangan itu ternyata tak hanya menyoal konsep belaka, tetapi juga realitas konkrit di level kampung. Mengutip Sapei Rusin, ketua BP Pergerakan, di level kampung inilah kaki-kaki negara dan pasar terasa begitu gamblangnya. Konflik tanah dengan perusahaan perkebunan yang didukung oleh negara membuat Pak Ade dkk petani dari Sukabumi ini benar-benar merasakan langsung kekuatan dan bau kaki negara dan pasar. Paparan yang disampaikan Pak Ade dkk sebagai pembuka pertemuan ini menyadarkan kita bahwa konflik tanah di Alas Tlogo Pasuruan yang banyak diulas media akhir-akhir ini hanyalah “tip of the iceberg”. Masih banyak kasus-kasus tanah yang tertimbun dan tidak terendus (atau sengaja ditinggalkan) media karena berbagai alasan. Sebagai bentuk keprihatinan dan dukungan atas perjuangan para petani Sukabumi ini, kami memuat cerita dari Pak Ade yang kami rujuk dari situs Yayasan Interseksi Baca entri selengkapnya »

Ruang Belajar Lafadl

Senin, 11 Juni 2007

Oleh: Heru Prasetia (Pegiat Lafadl Initiatives)

I have always imagined that Paradise will be a kind of library
–Jorge Luis Borges

Beberapa waktu lalu kami secara resmi membuka Perpustkaan kecil kami kepada publik. Koleksi di rak-rak buku kami memang tak banyak. Cuma sekitar seribu judul buku. Terdiri dari koleksi milik lembaga dan beberapa buku titipan milik anak-anak lafadl sendiri. Sejak pendirian lafadl kami memang memimpikan punya sebuah perpustakaan. Dengan modal mimpi dan semangat, kami mulai meretas jalan. Awalnya cuma sekumpulan buku dan majalah milik masing-masing kru yang disimpan di dalam rak kantor, kemudian bertambah dengan sumbanga-sumbangan buku dari sejumlah kolega. Kepentingan menata buku-buku itu cuma untuk mempermudah kerja-kerja kami, misalnya mempermudah mencari buku refernsi ketika harus menulis sebuah esai atau membuat laporan penelitian. Lambat laun buku-buku tersebut semakin banyak. Kami memutuskan untuk membuat rak-rak buku yang lebih baik. Dengan menyewa tenaga tukang dari jepara kami membuat rak-rak buku (dan sejumlah perabot kantor) dari kayu jati belanda. Akhirnya dua rak buku sederhana bisa buat menampung koleksi buku-buku kami.

Setelah rak-rak buku terisi, kami mulai berpikir untuk membuka perpustakaan ini kepada publik. Kami pikir, buat apa mengoleksi buku jika tak dimanfaatkan oleh khalayak yang lebih luas. Kami tentu tak ingin membuat tempat seperti ruang finis Africae dalam novel Name of The Rose yang menyimpan naskah-naskah kuno rahasia tanpa boleh seorang pun menyentuhnya. Itulah kenapa kami menempatkan rak-rak buku tersebut justru di ruang tamu kantor, tempat paling mudah diakses oleh siapapun, termasuk tamu yang tak dikenal dan tak diundang hehehehe…..Sebab, kata William of Baskerville dalam novel karya Umberto Eco tadi: The good of a book lies in being read. A book is made up of signs that speak of other signs, which in their turn speak of things. Without an eye to read them, a book contains signs that produce no concepts; therefore it is dumb…

Demikianlah, beberapa waktu lalu, kami mulai membuka perpustkaan ini untuk umum. Seorang pustakawan akan melayani pengunjung setiap hari (kecuali minggu dan senin) mulai ba’da ashar hingga ba’da isya, atau kalau mau lebih tepat: pukul 16.00 hingga pukul 20.00 WIB. Rentang waktu ini kami pilih karena pada waktu seperti inilah perpustkaan-perpustkaan lain mulai tutup, dan jika pintu yang mulai ditutup semestinya ada pintu lain yang dibuka. Kami mencoba menjadi yang membuka pintu ketika yang lain menutup pintu…

Tentara Kita Hari Ini

Minggu, 10 Juni 2007


Oleh: Heru Prasetia (pegiat Lafadl Initiatives)

Minggu ini, kita kembali menjadi saksi atas aksi kekerasan yang dilakukan tentara republik ini kepada warganegaranya sendiri. Saya tak perlu mengulang kasus apa yang terjadi dan bagaimana kisah penembakan itu terjadi. Anda bisa baca di sana dan di sini. Saya pertama kali mengetahui kabar itu ketika bermain-main bersama anak saya sambil nonton liputan 6 sisang di SCTV. Gambar-gambar yang disajikan sungguh dramatis: orang-orang menangis, menjerit, berguling-guling. Sesaat saya mengira ini berita kriminal biasa yang setiap hari meloncat dari tabung televisi. Tapi ternyata saya salah: ini aksi penembakan tentara kepada para petani. Saya harus mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengingatkan diri bahwa sekarang saya hidup di zaman reformasi dan Orde Baru telah tumbang sembilan tahun lalu. Tapi sungguh berita itu seperti menyeret jarum jam berputar berbalik menembus waktu seperti di film: saya dibawa kembali ke masa ketika tentara menguasai negeri ini. Ataukah saya yang terlampau banyak berharap bahwa perilaku tentara sudah berubah? Di masa lalu (di masa Orde Baru maksud saya) sudah menjadi rahasia umum jika orang mesti mengendalikan mobil dengan penuh hati-hati dan sangat pelan saat melintas di perumahan milik tentara, atau jika anda hidup di Magelang, anda harus menyingkir dari trotoar jika ada rombongan anak-anak akademi militer mau lewat, atau Anda harus percaya begitu saja jika ada orang ditembak tentara maka ortang-orang itu adalah PKI atau yang sejenisnya.

Kini, korban di Pasuruan memang tak disebut sebagai PKI—setidaknya sampai ketika saya menulis ini—tapi mereka sudah disebut sebagai ”yang sejenisnya” itu. Kita tahu, sesaat setelah peluru menembus tubuh-tubuh lemah itu, siaran pers tentara mengatakan bahwa para petani itu menyerang dengan kalap tentara yang tengah bertugas. Dari situ berbagai hal disemburkan: keputusan pengadilan tentang status tanah, adanya provokasi, debu yang mengepul menghalangi pandangan, penembakan ke arah tanah, pengusutan akan dilakukan. Kita yang hidup di dunia nyata—ingat ini bukan fim hollywood—pasti sudah bisa membayangkan ujung dari semua ini. Baca entri selengkapnya »